Sabtu, 25 Juni 2011

Tasauf: Antara syariat, hakikat dan tarekat

Syari`at, Tarekat dan Hakikat

 Syariat berasal dari Bahasa Arab, menurut Kamus Al-Munawir ialah jalan yang lurus (at-tariqat al-mustaqimat), yakni jalan yang dengan mudah da­pat mengantarkan seseorang ke tempat yang ia tuju.[1]
Dalam perkembangan selanjutnya, isti­lah Syariat oleh para ulama dipergunakan untuk pengertian “segala aturan” yang di­tentukan A11ah untuk para hamba-Nya. baik yang berkenaan dengan soal-soal akidah maupun yang bertalian dengan masa­lah-masalah hukum. Aturan-aturan yang telah ditetapkan Allah itu dinamai Syariat, karena pada umumnya bersifat tegas dan jelas sehingga mudah dimengerti dan di­ikuti bagaikan jalan raya (tol) yang mulus tanpa ada tikungan dan simpangan. Atau, laksana air yang terns mengalir memberi daya hidup bagi tubuh manusia, aturan-­aturan yang ditetapkan Tuhan, menggerak­kan suasana kehidupan rohani yang man­tap dan mengarahkan akal pikiran ke arah berpikir yang sehat dan dinamis.
Al-Quran al-Karim, yang dalamnya juga kita jumpai kata syara`a dan syara`u (surat asy-Syura: 13 dan 31), mempergunakan kata syir`at dan syariat (masing-maring li­hat surat al-Maidah: 48 dan al-Jasiyah: 18) dalam arti jalan atau aturan-aturan agama yang telah ditetapkan Tuhan untuk kehidupan umat manusia.[2]
Istilah syara`i jamak dari kata Syariat pada masa-masa awal Islam digunakan un­tuk pengertian masalah-masalah pokok ajaran Islam. Orang-orang Arab Badui. ko­non diriwayatkan pernah meminta Nabi supaya mengutus seseorang guna meng­ajarkan “syara`i al-lslam” kepada mereka. Yang dimaksudkan tentu adalah ajaran­-ajaran pokok agama Islam.
Dalam pada itu istilah Syariat di masa­-masa awal Islam tampaknya mempunyai ruang-lingkup yang luas seluas ajaran-ajar­an Islam itu sendiri, tidak hanya menyangkut aspek hukum seperti yang umum di­kenal di masa-masa kemudian, akan tetapi juga mencakup masalah kalam dan lain-­lain. Tapi dalam perkembangan selanjut­nya. istilah Syariat kelihatannya menga­lami penyempitan jangkauan hingga akhir­nya terbatas pada masalah-masalah hu­kum.[3]
Dewasa ini hila disebut kata syariat, hampir dapat dipastikan bahwa yang di­maksud adalah hukum Islam atau fikih. Dan umum memang menganggap Syariat itu identik dengan fikih. Bukan saja kare­na keduanya mempunyai hubungan erat yang tak dapat dipisahkan, melainkan juga karena satu sama lain dipergunakan da­lam pengertian yang persis sama.[4]
Namun demikian tidak berarti bahwa antara Syariat dan fikih sama sekali tidak ada perbedaan di balik hubungan erat dan persamaan antara keduanya. Di antara perbedaan yang menonjol antara syariat dan fikih ialah:
Pertama: Syariat merupakan hak prerogative Allah yang kompetensi untuk me­netapkannya paling banter hanya dideligasikan kepada Nabi Muhammad. Sedang­kan fikih merupakan ketentuan-ketentuan hukum yang ditetapkan manusia yakni para fukaha (para pakar hukum Islam) sebagai basil ijtihad mereka setelah melaku­kan pemahaman terhadap al-Qur`an dan al­-Hadis.
Penggunaan istilah Syariat Allah dan syariat Nabi Muhammad tidak fikih Allah dan fikih Muhammad. mengisvaratkan tentang perbedaan antara fikih dengan syariat. Demikian pula sebutan fikih Ha­nafl. fikih Maliki. fikih Fikih Syafi’i dan fikih Hambali; tidak syariat Hanafi, syariat Maliki dan lain-lain.
Al-Quran scndiri secara tidak langsung membedakan antara Syariat dengan fikih. Berbeda dengan kata fikih (dalam al­Quran tersebut 2o kali kata fikih) yang se­muanya dikaitkan dengan manusia, al-Quran melalu menghubungkan kata Syariat dengan Allah, kecuali pada kata syara`u yang terdapat dalam surat asy-Syura ayat 31 . Dalam ayat ini kata syari`at dipertali­kan dengan umat manusia, tetapi itu pun dalam nada pernyataan ketidak setujuan Allah terhadap mereka yang membuat ­buat Syariat.
Kedua: karena Syariat Islam itu meru­pakan aturan yang ditetapkan Allah dan atau Rasul-Nya (Muhammad), maka Sya­riat apa pun alasannya tidak dapat diro­bah atau diganti oleh siapa, kapan dan di mana pun. Sedangkan fikih Islam, yang mamerupakan hasil ijtihad mujtahid, kapan dan di mana perlu pada prinsipnya boleh dirobah.
Ketiga: syariat Islam pada umumnya berisi ketentuan-ketentuan hukum dasar yang bersifat global dan berjumlah relatif sedikit, sedangkan fikih Islam yang meru­pakan penjabaran syariat Islam, pada umumnya bersifat terperinci dan berjum­lah banyak.
Keempat: syariat Islam bersifat kekal dan universal. sementara fikih Islam seti­dak-tidaknya dalam perkara-perkara ter­tentu boleh jadi bersifat Iokal dan tempo­ral. Sebutan-sebutan fikih Irak, fikih Hijaz dan lain-lain umpamanya, menunjukkan keelokan fikih Islam dalam arti bisa berbeda antara fikih negara Islam yang satu dengan fikih negara Islam yang iain. De­mikian pula tentang perubahan ketentuan hukum fikih dari waktu ke waktu. Se­dangkan syariat tidak pernah terdenaar is­tilah syariat Saudi Arabia, syariat Mesir; syariat Pakistan atau syariat Indonesia dan iain-lain. Yang ada ialah istilah syariat  Allah, syariat Nabi Muhammad dan sya­riat Islam.[5]


Pengertian Tarekat
Tarekat (tariqat) secara harfiah berarti jalan, cara, atau metode[6]. Dalam lapangan tasawuf, istilah ini sampai abad ke-11 (5 H) dipakai dengan pengertian: jalan yang harus ditempuh oleh setiap calon sufi untuk mencapai tujuannya, yaitu ber­ada sedekat mungkin dengan Allah, atau dengan kata lain berada di hadirat-Nya tanpa dibatasi oleh hijab (hijab berarti dinding yang membatas,. mata batin sese­orang dengan Allah). Pada jalan tersebut terdapat sederetan maqam-maqam (sta­sion-stasion atau tahap-tahap) yang harus dilalui, seperti maqam tobat, zuhud, sa­bar, rida, mahabbah (cinta), dan makri­fatullah (mengenal Allah dengan hati-nu­rani). Bila calon sufi itu telah mencapai maqam makrifatullah, maka ia bukan lagi calon, tapi meningkat menjadi sufi secara aktual. Sejak berdirinya organisasi-organi­sasi atau kesatuan-kesatuan jemaah para sufi dengan para murid atau pengikut ma­sing-masing pada abad ke- 12 (6 H), isti­lah tarekat tidak lagi hanya mengandung arti jalan, seperti dijelaskan di atas, tapi juga mengandung arti organisasi atau ke­satuan jemaah sufi dengan murid atau pengikutnya tersebut.[7]
Sufi menjadi pemimpin tarekat (dalam arti kedua) ini disebut Syekh. Pada mulanya tempat tinggal Syekh tarekat itu menjadi pusat kegiatan pendidikan dan pembinaan para anggota tarekat, tetapi kemudian segera bermunculan ribat, seba­gai perkampungan khusus untuk pembi­naan tersebut. Anggota tarekat terdiri dari dua kelompok, yaitu kelompok murid atau pengikut yang tinggal dalam ribat dan memusatkan perhatian pada ibadat, dan kelompok pengikut awam yang ting­gal di luar ribat, serta tetap bekerja de­ngan pekerjaan mereka sehari-hari, tetapi pada waktu-waktu tertentu mereka ikut berhimpun dalam ribat untuk menjalani latihan spiritual.[8]
Perluasan tarekat itu biasanya berlang­sung sebagai berikut: murid yang telah di­pandang oleh Syekh berhasil mencapai tingkat tertinggi, memperoleh ijazah (sua­tu pengakuan boleh menjadi guru tarekat) dari Syekh tersebut. Pemegang ijazah itu keluar dari ribat dan selanjutnya mengada­kan serta memimpin ribat yang serupa di tempat lain. Semakin banyak murid yang menerima ijazah berarti semakin banyak pula kemungkinan berdirinya ribat-ribat baru. Ribat yang baru ini pada gilirannya tentu menghasilkan pula guru-guru tare­kat. Demikianlah sebuah tarekat dengan sebuah ribat, yang berdiri di sebuah tem­pat, dapat meluas ke berbagai penjuru du­nia Islam, dengan jumlah ribat yang ba­nyak Tidak semua cabang atau ranting suatu tarekat, menghubungkan tarekatnya kepada nama tokoh pendiri pertama, tapi kepada Syekh pendiri cabang atau ranting itu sendiri. Itulah sebabnya nama-nama ta­rekat yang bermunculan di dunia Islam berpuluh-puluh atau ratusan banyaknya.[9]
Sejarah Islam menunjukkan bahwa tare­kat-tarekat, sejak bermunculan pada abad ke-12 (6 H), mengalami perkembangan yang pesat. Dapat dikatakan bahwa dunia Islam., sejak abad berikutnya (13/7 H), pa­da  umumnya dipengaruhi oleh tarekat. Tarekat-tarekat tampak memegang peran­an yang cukup besar dalam menjaga eksis­tensi dan ketahanan umat Islam, setelah mereka dilabrak secara mengerikan oleh gelombang-gelombang serbuan tentara Tartar (kota Bagdad sendiri dimusnahkan tentara Tartar itu pada 1258 (656 H).[10] (Sejak penghancuran demi penghancuran yang dilakukan oleh tentara Tartar itu, Islam yang diperkirakan orang akan le­nyap, tetap saja mampu bertahan, bahkan dapat merembes memasuki hati turunan para penyerbu itu dan memasuki daerah-­daerali baru. Pada umumnya para anggota tarekatlah yang berperan dalam penyebar­an Islam, sejak kehancuran kota Bagdad itu.[11] Tarekat-tarekatlah yang menguasai kehidupan umat Islam selama zaman perte­ngahan sejarah Islam (abad ke-13-18/ 7-12 H). Pengaruh tarekat mulai mundur sejak awal abad yang lalu. Serangan-se­rangan terhadap tarekat, yang dulunya di­pelopori oleh Ibnu Taimiyah (w. 1327/ 728 H) terdengar semakin gencar dan kuat di masa modern. Tokoh-tokoh pembaharu dalam dua abad terakhir ini pada umum­nya memandang bahwa salah satu di anta­ra sebab-sebab mundur dan lemahnya umat Islam adalah pengaruh tarekat yang buruk (antara lain: menumbuhkan sikap taklid, sikap fatalistic, orientasi yang ber­lebihan kepada ibadat dan akhirat, dan tidak mementingkan ilmu pengetahuan).[12]
Dari sekian banyak tarekat yang pernah muncul sejak abad-abad ke-12 (6 H) itu, dapat dicatatkan antara lain: Tarekat Qa­diriyah (dihubungkan kepada Syekh Ab­dul-Qadir al-Jailani, yang wafat di Irak pa­da 1161 (561 H), yang mempunyai penga­nut di Irak, Turki, Turkestan, Sudan, Ci­na. India, dan Indonesia; Tarekat Rifa’i­vah (dihubungkan kepada Syekh Ahmad ar-Rifa’i, yang juga wafat di Irak pada 1182 (578 H), yang mempunyai pengikut di Irak dan Mesir; Tarekat Syaziliyah (di­hubungkan kepada Syekh Ahmad asy-Sya­zili, yang wafat di Mesir pada (1258/658 H), yang mempunyai pengikut di Mesir, Afrika Utara, Siria, dan negeri Arab lain­nya: Tarekat Maulawiyah (dihubungkan kepada Syekh Maulana Jalaluddin Rumi, yang wafat di Konya/Turki pada 1273/ 672 H), yang berpengaruh pada masyara­kat Turki: Tarekat Naqsyabandiyah (dihu­bungkan kepada Syekh Bahauddin Naq­syabandi yang wafat di Bukhara pada 1389 (791 H), yang mempunyai pengikut di Asia Tengah, Turki, India, Cina, dan Indonesia; dan Tarekat Syattariyah (dihu­bungkan kepada Syekh Abdullah asy­Syattari yang wafat di India pada 1236 (633 H), yang mempunyai pengikut di In­dia dan Indonesia.[13]

Pengertian Hakikat
Hakikat (Haqiqat) adalah kata benda yang berarti kebenaran atau yang benar-­benar ada. Kata ini berasal dari kata po­kok hak (al-Haq), yang berarti milik (ke­punyaan) atau benar (kebenaran). kata Haq, secara khusus oleh orang-orang sufi sering digunakan sebagai istilah untuk Allah, sebagai pokok (sumber) dari segala kebenaran, sedangkan yang berlawanan dengan itu semuanya disebut batil (yang tidak benar).[14]
Dalam ilmu tasawuf, hakikat merupa­kan salah satu bagian (tingkat) dari empat tingkatan ilmu: syariat, tarekat, makrifat dan bakikat. Syariat, sebagai ilmu yang paling awal, mempelajari tentang amal  iba­dat dan muamalat secara lahir.[15] Tarekat, sebagai ilmu kedua, mempelajari tentang latihan-latihan rohani dan jasmani yang di­lakukan sekelompok umat Islam (para sufi) menurut ajaran-ajaran tertentu, yang tujuan pokoknya adalah untuk memperte­bal iman dalam hati para pengikutnya, se­hingga tidak ada lagi yang lebih indah dan dicintai selain daripada Allah. Makrifat, sebagai tingkat ketiga, mempelajari ten­tang bagaimana mengetahui sesuatu de­ngan seyakin-yakinnya. Makrifat yang di­maksud di sini, adalah ma`rifatullah (me­ngenal Allah) baik zat-Nya, sifat-Nya mau­pun asma-Nya. Hakikat, sebagai tingkat terakhir dan lanjutan dari makrifat, berusaha menunjukkan basil dari makrifat itu ke dalam wujud yang sebenar-benarnya, atau pada tingkat kebenaran yang paling tinggi.[16]
Hakikat itu baru akan dicapai sesudah seseorang memperoleh makrifat yang sebenar­benarnya. Dan hakikat ini, hanya dapat dicapai dalam keadaan fana (hilangnya kesadaran diri dan alam sekelilingnya), karena hanya dalam keadaan yang demi­kianlah terbuka dan tersingkapnya tirai penutup yang merintangi seorang hamba dengan Tuhannya (kasyf al-mahjub). De­ngan demikian, hakikat merupakan pun­cak dari basil yang dicapai kaum sufi dalam usaha pendakian spiritual melalui tarekatnya. Dan biasanya, seorang sufi yang telah mencapai ma`rifatullah yang hakiki disebut ahli hakikat (ahlu al-Haqiqah).[17]
Menurut Ibnu Arabi, hakikat wujud ini adalah satu dalam jauhar dan zatnya, teta­pi berbilang dalam sifat dan asmanya. Se­lanjutnya ia mengatakan: “Manakala engkau meninjau dari sudut zat-Nya, eng­kau akan berkata, itulah Haq. Dan apabila engkau meninjau dari sudut sifat dan asma-Nya, dari sudut terjadinya segala se­suatu yang mumkinat, niscaya engkau ber­kata, itulah makhluk atau alam”.[18]
Hakikat juga dapat berarti ungkapan yang digunakan untuk menunjukkan mak­nanya yang pertama (makna yang sebenar­nya), kebalikan dari ungkapan majas (metafor). Akan tetapi ada beberapa ung­kapan majaz yang sudah sering digunakan, sehingga menjadi semacam konvensi, ma­jaz seperti ini dapat disebut sebagai haki­kat secara adat kebiasaan (haqiqat al-`urfi­yat).[19]


Hubungan Antara Syari`at, Tarekat,  dan Hakikat
Syariat adalah didisplin keIslaman yang menggarap aspek lahiriyah. Seiring klasifikasi zaman, syariat mengalami penyempitan arti dan garapan secara normatif yaitu fiqih.sedangkan asal mulanya syari`at merupakan pokok-pokok ajaran Islam yang masih utuh meliputi Tauhid, Hukum Islam, dan Akhlak. Menurut Fajrurrahman, Tauhid adalah bangunan pondasi yang menjadi pijakan utama dalam beragama dan syariat aturan formal yang membingkai aspek kehidupan secara legal. Adapun akhlak bidang garapan yang lahannya tingkah laku manusia dengan pendekatan sentuhan hati nurani untuk di aplikasikan dalam praktik kehidupan sehari-hari berdasarkan Al-Qur`an As-Sunnah.
Dari ketiga bidang di atas bila didalami, dihayati dan diamalakn oleh setiap kaum muslimin secara kontinyu (istiqomah) berdampak positif pada kehidupan sehari-hari. Para sufi dalam menterjemahkan ketiga aspek ini secara konstektual menjadi sebuah disiplin keilmuan dalam Islam yaitu Ilmu Tasawuf. Imam Al-Gazali dan Ihya Ulumuddin mengkombinasikan tauhid, fiqih, dan akhlak menjadi satu kesatuan yang utuh (saling terkait).
Kolerasi antara syariat dan hakikat bagaikan anak tangga yang satu sama lain saling berhubungan, tidak akan pernah ada hakikat tanpa jalan makrifat, makrifat tidak pernah ada tanpa melalui latihan (thariqat), Thariqat tidak pernah jalan tanpa adanya syari`at dan syari`at sendiri muncul karena adanya tauhid.
Untuk mempermudah pamahaman, penulis sekemakan sebagai berikut:
1.    Tauhid sebagai landasan utama dalam bertasawuf
2.    Syari`at sebagai jalan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dengan pandual Al-qu`an dan Al-Hadits.
3. Thariqat sebagai wahan latihan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dengan Mujahadah dan Muraqabah akhirnya tibul istiqamah
4. Ma`rifah adalah buah dari tariqat di atas yang berinflikasi kasyaf, mengetahui hakikat Tuhan.

Tasawuf (Tasawwuf) dan FATWA-FATWA ULAMA' AHLUSSUNNAH TENTANG TASAWUF

Tasawuf (Tasawwuf) adalah ilmu untuk mengetahui bagaimana cara menyucikan jiwa, menjernihan akhlaq, membangun dhahir dan batin, untuk memporoleh kebahagian yang abadi.

 فقيها و صوفيا فكن ليس واحدا * فإني و حـــق الله إيـــاك أنــــصح
فذالك قاس لم يـــذق قـلــبه تقى * وهذا جهول كيف ذوالجهل يصلح
Berusahalah engkau menjadi seorang yang mempelajari ilmu fiqih dan juga menjalani tasawuf, dan janganlah kau hanya mengambil salah satunya.Sesungguhnya demi Allah saya benar-benar ingin memberikan nasehat padamu.
Orang yang hanya mempelajari ilmu fiqih tapi tidak mahu menjalani tasawuf, maka hatinya tidak dapat merasakan kelazatan takwa. Sedangkan orang yang hanya menjalani tasawuf tapi tidak mahu mempelajari ilmu fiqih, maka bagaimana bisa dia menjadi baik?
(Diwan Al-Imam Asy-Syafi'i, hal. 47)


Para ulama besar kaum muslimin sama sekali tidak menentang tasawuf, tercatat banyak dari mereka yang menggabungkan diri sebagai pengikut dan murid tasawuf, para ulama tersebut berkhidmat dibawah bimbingan seorang mursyd tarekat yang arif, bahkan walaupun ulama itu lebih luas wawasannya tentang pengetahuan syari’at Islam, namun mereka tetap menghormati para syaikh yang mulia, hal ini dikarenakan ilmu2 syari’at yang diperoleh dari jalur pendidikan formal adalah ilmu lahiriah, sedangkan untuk memperoleh ilmu batiniyah dalam membentuk “qalbun salim / akhlak yang mulia”, seseorang harus menyerahkan dirinya untuk berkhidmat dibawah bimbingan seorang mursyd Tarekat yang sejati. (yang silsilah keilmuannya jika dirunut keatas akan sampai kepada Nabi Muhammad SAW)

IMAM AL- GHAZALI
(450-505 H./1058-1111 M)
Imam Ghazali tentang tasawuf : “Saya tahu dengan benar bahwa para Sufi adalah para pencari jalan Allah, dan bahwa mereka melakukan yang terbaik, dan jalan mereka adalah jalan terbaik, dan akhlak mereka paling suci. Mereka membersihkan hati mereka dari selain Allah dan mereka menjadikan mereka sebagai jalan bagi sungai untuk mengalirnya kehadiran Ilahi [al-Munqidh min ad-dalal, hal. 131].
Dalam bukunya an-Nusrah an-Nabawiahnya mengatakan bahwa mendalami dunia tasawuf itu penting sekali. Karena, selain Nabi, tidak ada satupun manusia yang bisa lepas dari penyakit hati seperti riya, dengki, hasud dll. Dan, dalam pandangannya, tasawuf lah yang bisa mengobati penyakit hati itu. Karena dalam ilmu tasawuf konsentrasi mempelajari pada tiga hal dimana ketiga-tiganya sangat dianjurkan oleh al-Qur’an al-karim. Pertama, selalu melakukan kontrol diri, muraqabah dan muhasabah. Kedua, selalu berdzikir dan mengingat Allah Swt. Dan ketiga, menanamkan sifat zuhud, cinta damai, jujur, sabar, syukur, tawakal, dermawan dan ikhlas.

DR. YUSUF AL-QARDHAWI

(Ketua Ulama Islam Internasional dan juga guru besar Universitas al Azhar – Beliau merupakan salah seorang ulama Islam terkemuka abad ini) didalam kumpulan fatwanya mengatakan : “Arti tasawuf dalam agama ialah memperdalam ke arah bagian ruhaniah, ubudiyyah, dan perhatiannya tercurah seputar permasalahan itu.”
Beliau juga berkata, “Mereka para tokoh sufi sangat berhati-hati dalam meniti jalan di atas garis yang telah ditetapkan oleh Al-Qur,an dan As-Sunnah. Bersih dari berbagai pikiran dan praktek yang menyimpang, baik dalam ibadat atau pikirannya. Banyak orang yang masuk Islam karena pengaruh mereka, banyak orang yang durhaka dan lalim kembali bertobat karena jasa mereka. Dan tidak sedikit yang mewariskan pada dunia Islam, yang berupa kekayaan besar dari peradaban dan ilmu, terutama di bidang marifat, akhlak dan pengalaman-pengalaman di alam ruhani, semua itu tidak dapat diingkari.”
EMPAT ORANG IMAM MAZHAB SUNNI, semuanya mempunyai seorang guru mursyd tarekat. Melalui mursyd tarekat tersebut mereka mempelajari Islam dalam sisi esoterisnya yang indah dan sangat agung. Mereka semua menyadari bahwa ilmu syariat harus didukung oleh ilmu tasawuf sehingga akan tercapailah pengetahuan sejati mengenai hakikat ibadah yang sebenarnya.

IMAM ABU HANIFAH (85 H -150 H)

(Nu’man bin Tsabit - Ulama besar pendiri mazhab Hanafi)
Beliau adalah murid dari Ahli Silsilah Tarekat Naqsyabandi yaitu Imam Jafar as Shadiq ra . Berkaitan dengan hal ini, Jalaluddin as Suyuthi didalam kitab Durr al Mantsur, meriwayatkan bahwa Imam Abu Hanifah berkata, “Jika tidak karena dua tahun, aku telah celaka. Karena dua tahun saya bersama Sayyidina Imam Jafar as Shadiq, maka saya mendapatkan ilmu spiritual yang membuat saya lebih mengetahui jalan yang benar”.

IMAM MALIKI

(Malik bin Anas - Ulama besar pendiri mazhab Maliki) juga murid Imam Jafar as Shadiq ra, mengungkapkan pernyataannya yang mendukung terhadap ilmu tasawuf sebagai berikut :
“Man tasawaffa wa lam yatafaqa faqad tazandaqa, wa man tafaqaha wa lam yatasawaf faqad tafasaq, wa man tasawaffa wa taraqaha faqad tahaqaq”.
Yang artinya : “Barangsiapa mempelajari/mengamalkan tasawuf tanpa fiqih maka dia telah zindik, dan barangsiapa mempelajari fiqih tanpa tasawuf dia tersesat, dan siapa yang mempelari tasawuf dengan disertai fiqih dia meraih Kebenaran dan Realitas dalam Islam.” (’Ali al-Adawi dalam kitab Ulama fiqih, juz 2, hal. 195 yang meriwayatkan dari Imam Abul Hasan).

IMAM SYAFI’I (Muhammad bin Idris, 150-205 H)

Ulama besar pendiri mazhab Syafi’i berkata, “Saya berkumpul bersama orang-orang sufi dan menerima 3 ilmu:
1. Mereka mengajariku bagaimana berbicara
2. Mereka mengajariku bagaimana memperlakukan orang lain dengan kasih sayang dan kelembutan hati
3. Mereka membimbingku ke dalam jalan tasawuf.”
(Riwayat dari kitab Kasyf al-Khafa dan Muzid al Albas, Imam ‘Ajluni, juz 1, hal. 341)

IMAM AHMAD BIN HANBAL (164-241 H)

Ulama besar pendiri mazhab Hanbali berkata, “Anakku, kamu harus duduk bersama orang-orang sufi, karena mereka adalah mata air ilmu dan mereka selalu mengingat Allah dalam hati mereka. Mereka adalah orang-orang zuhud yang memiliki kekuatan spiritual yang tertinggi. Aku tidak melihat orang yang lebih baik dari mereka” (Ghiza al Albab, juz 1, hal. 120 ; Tanwir al Qulub, hal. 405, Syaikh Amin al Kurdi)

SYAIKH FAKHRUDDIN AR RAZI (544-606 H)
Ulama besar dan ahli hadits) berkata :
“Jalan para sufi adalah mencari ilmu untuk memutuskan hati mereka dari kehidupan dunia dan menjaga diri agar selalu sibuk dalam pikiran dan hati mereka dengan mengingat Allah pada seluruh tindakan dan perilaku .” (I’tiqad al Furaq al Musliman, hal. 72, 73)

IMAM AL MUHASIBI (243 H./857 M)
Imam al-Muhasibi meriwayatkan dari Rasul, “Umatku akan terpecah menjadi 73 golongan dan hanya satu yang akan menjadi kelompok yang selamat” . Dan Allah yang lebih mengetahui bahwa satu itu adalah Golongan orang TASAWUF. Dia menjelaskan dengan mendalam dalam Kitab al- Wasiya hal. 27-32.

IMAM AL QUSHAYRI (465 H./1072 M)
Imam al-Qushayri tentang Tasawuf: “Allah membuat golongan ini yang terbaik dari wali wali- Nya dan Dia mengangkat mereka di atas seluruh hamba-hamba-Nya sesudah para Rasul dan Nabi, dan Dia memberi hati mereka rahasia Kehadiran Ilahi-Nya dan Dia memilih mereka diantara umat-Nya yang menerima cahaya-Nya. Mereka adalah sarana kemanusiaan, Mereka menyucikan diri dari segala hubungan dengan dunia dan Dia mengangkat mereka ke kedudukan tertinggi dalam penampakan (kasyaf).
Dan Dia membuka kepada mereka Kenyataan akan Keesaan-Nya. Dia membuat mereka untuk melihat kehendak-Nya mengendalikan diri mereka. Dia membuat mereka bersinar dalam wujud-Nya dan menampakkan mereka sebagai cahaya dan cahaya-Nya .” [ar-Risalat al-Qushayriyyah, hal. 2]

IMAM NAWAWI (620-676 H./1223-1278 M)

Dalam suratnya al-Maqasid: “Ciri jalan sufi ada 5:
menjaga kehadiran Allah dalam hati pada waktu ramai dan sendiri mengikuti Sunah Rasul dengan perbuatan dan kata menghindari ketergantungan kepada orang lain, bersyukur pada pemberian Allah meski sedikit, selalu merujuk masalah kepada Allah swt [Maqasid at-Tawhid, hal. 20]

IBNU KHALDUN (733-808 H)

Ulama besar dan filosof Islam berkata, “Jalan sufi adalah jalan salaf, yakni jalannya para ulama terdahulu di antara para sahabat Rasulullah Saww, tabi’in, dan tabi’it-tabi’in. Asasnya adalah beribadah kepada Allah dan meninggalkan perhiasan serta kesenangan dunia.” (Muqadimah ibn Khaldun, hal. 328)

IMAM JALALUDDIN AS SUYUTI

(Ulama besar ahli tafsir Qur’an dan hadits) didalam kitab Ta’yad al haqiqat al ‘Aliyyah, hal. 57 berkata, “Tasawuf yang dianut oleh ahlinya adalah ilmu yang paling baik dan terpuji. Ilmu ini menjelaskan bagaimana mengikuti Sunah Nabi Saww dan meninggalkan bid’ah.”

TAJUDDIN AS SUBKI

Kitab Mu’iid an-Na’iim, hal. 190, tentang Tasawuf : “Semoga Allah memuji mereka dan memberi salam kepada mereka dan menjadikan kita bersama mereka di dalam sorga. Banyak hal yang telah dikatakan tentang mereka dan terlalu banyak orang-orang bodoh yang mengatakan hal-hal yang tidak berhubungan dengan mereka. Dan yang benar adalah bahwa mereka meninggalkan dunia dan menyibukkan diri dengan ibadah”
Dia berkata pula : “Mereka adalah manusia-manusia yang dekat dengan Allah yang doa dan shalatnya diterima Allah, dan melalui mereka Allah membantu manusia”

IBNU ‘ABIDIN

Ulama besar, Ibn ‘Abidin dalam Rasa’il Ibn cAbidin (p. 172-173) menyatakan: ” Para pencari jalan ini tidak mendengar kecuali Kehadiran Ilahi dan mereka tidak mencintai selain Dia. Jika mereka mengingat Dia mereka menangis. Jika mereka memikirkan Dia mereka bahagia. Jika mereka menemukan Dia mereka sadar. Jika mereka melihat Dia mereka akan tenang. Jika mereka berjalan dalan Kehadiran Ilahi, mereka menjadi lembut. Mereka mabuk dengan Rahmat-Nya. Semoga Allah merahmati mereka”. [Majallat al-Muslim, 6th ed., 1378 H, p. 24].

SYEIKH RASYID RIDHA

Dia berkata,”Tasawuf adalah salah satu pilar dari pilar-pilar agama. Tujuannya adalah untuk membersihkan diri danmempertanggung jawabkan perilaku sehari-hari dan untuk menaikan manusia menuju maqam spiritual yang tinggi” [Majallat al-Manar, tahun pertama hal. 726].

MAULANA ABUL HASAN ALI AN-NADWI

Maulana Abul Hasan ‘Ali an-Nadwi anggota the Islamic-Arabic Society of India and Muslim countries. Dalam, Muslims in India, , p. 140-146, “Para sufi ini memberi inisiasi (baiat) pada manusia ke dalam keesaan Allah dan keikhlasan dalam mengikuti Sunah Nabi dan dalam menyesali kesalahan dan dalam menghindari setiap ma’siat kepada Allah SWT. Petunjuk mereka merangsang orang-orang untuk berpindah ke jalan kecintaan penuh kepada Allah”
“Kita bersyukur atas pengaruh orang-orang sufi, ribuan dan ratusan ribu orang di India menemukan Tuhan mereka dan meraih kondisi kesempurnaan melalui Islam”

ABU ‘ALA AL MAUDUDI

Dalam Mabadi’ al-Islam (hal. 17), “Tasawuf adalah kenyataan yang tandanya adalah cinta kepada Allah dan Rasul saw, di mana sesorang meniadakan diri mereka karena tujuan mereka (Cinta), dan seseorang meniadakan dari segala sesuatu selain cinta Allah dan Rasul” “Tasauf mencari ketulusan hati, menyucikan niat dan kebenaran untuk taat dalam seluruh perbuatannya.”



Seperti itulah pengakuan para ulama besar kaum muslimin tentang tasawuf. Mereka semua mengakui kebenarannya dan mengambil berkah ilmu tasawuf dengan belajar serta berkhidmat kepada para syaikh tarekat pada masanya masing-masing. Oleh karena itu tidak ada bantahan terhadap kebenaran ilmu ini, mereka yang menyebut tasawuf sebagai ajaran sesat atau bid’ah adalah orang-orang yang tertutup hatinya terhadap kebenaran Allah SWT.
Ringkasnya, belajar Tasawuf dengan memilih Tarekat yang benar, Tarekat yang mu’tabaroh (yang diakui keabsahannya di dunia Islam) dari segi silsilah guru dan ajarannya dari dahulu maupun sekarang, adalah sarana efektif untuk menyebarkan kebenaran Islam, memperluas ilmu dan pemahaman spiritual, dan meningkatkan kebahagiaan serta kedamaian.
Dengan ilmu Tasawuf manusia dapat lebih mengenal diri sendiri, dengan demikian akan lebih mengenal Tuhannya. Sehingga manusia mendapatkan keselamatan dari kebodohan dunia serta dari godaan keindahan materi. Dan hanya Allah SWT yang lebih mengetahui niat hamba-hamba-Nya yang tulus.
* * * * * * * * * * * * *
Laa ilaha illa allah
Tiada Tuhan kecuali Allah

Laa ma’buda illa allah
Tiada yang disembah kecuali Allah

oleh Sutarom 'Tarom' pada 24 Juni 2011

Kekhawatiran Nabi Muhamad Terhadap Umatnya

Nabi muhammad adalah seorang pembawa risalah Alloh yang sangat mencintai umatnya. Sepanjang hidupnya ia dedikasikan untuk menyebarkan risalah Alloh kepada umat manusia, walau dihadapkan pada tantangan, cemoohan dan penderitaan.
Alloh SWT menggambarkan sifat dan perjuangan nabi Muhammad dalam QS Attaubah 128:
“Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin. (QS. 9:128)
Berangkat dari kecintaan beliau yang sangat besar terhadap umatnya, ia menginginkan umatnya senantiasa berada dalam keimanan agar selamat dunia dan akhirat. Untuk itulah, beliau memiliki beberapa kehawatiran yang tidak ingin terjadi kepada umatnya. Karena jika kekhawatiran ini terjadi, niscaya umat itu ada dalam kesesatan dan kecelakaan dunia dan akhirat.
Apa sajakah kekhawatiran nabi itu? Jawabannya adalah sebagai berikut:
#1. Pemimpin yang menyesatkan (Dholim)

Nabi sangat mengkhawatirkan jika umatnya dipimpin oleh pemimpin yang menyesatkan (dholim) . Kenapa? Karena seorang pemimpin adalah lokomotif yang menentukan arah suatu masyarakat. Baik buruknya tatanan masyarakat akan sangat ditentukan oleh pemimpinnya. Islam melarang umatnya memilih musuh Alloh dan musuh orang beriman sebagai pemimpin baginya. Begitu pula orang yang tabiatnya lebih cenderung terhadap kekafiran daripada keimanan.
Nabi sangat mengkhawatirkan, jika umatnya dipimpin oleh pemimpin yang dholim (menyesatkan), maka umatnya akan rusak.

#2. Riya
Nabi berkata, “Yang paling aku takuti terjadi pada umatku, yakni umatku mampu beramal sholeh tetapi terjebak pada syirik kecil”, Shahabat bertanya, “Apa yang dimaksud dengan Syirik kecil itu?”, Nabi menjawab, “Riya”.
Riya adalah ketika seseorang beramal sholeh, ia ingin dilihat oleh manusia dan ingin mendapat pujian. Saat di akhirat kelak, Alloh menyuruh orang yang berbuat riya untuk minta pahala kepada yang di-riyai-nya. Alloh hanya menginginkan amal yang dilakukan seseorang semata-mata untuk mengharap ridho Alloh, bukan yang lainnya.
Sangatlah mudah mengindikasikan apakah perbuatan (ibadah) yang kita lakukan termasuk kategori riya atau tidak. Jika kita semakin bersemangat melakukan ibadah saat ada orang lain yang memuji, dan berhenti saat ada orang menghina, maka berhati-hatilah karena perbuatan itu termasuk kategori riya (manusia oriented). Adapun orang yang ikhlas, ia akan tetap istiqomah menjalankan ibadah, tanpa pengaruh pujian atau hinaan orang lain (Alloh oriented).

#3. Perzinahan
Saat ini, perzinahan telah merajalela di lingkungan sekitar kita, bahkan telah menjadi trend di kalangan generasi muda. Islam sangat melarang perbuatan zina, bahkan perbuatan yang mendekati perzinahanpun dilarang. Dalam pandangan Islam, perbuatan zina merupakan perbuatan keji, buruk  dan merusak tatanan sosial.

#4. Munafik yang Pintar Ngomong
Kehadiran orang munafiq yang pintar ngomong sangatlah membahayakan. Ia memiliki kemampuan orasi yang meyakinkan sehingga orang takjub dan kagum terhadap apa yang ucapkannya, meskipun ucapan itu hanyalah hiasan bibir belaka. Alloh akan menempatkan orang munafiq di neraka paling dasar. Orang munafiq selalu dusta saat dia berbicara, menampakkan keimanan dan menyembunyikan kekafirannya. Kehadirannya dalam umat hampir tidak kelihatan karena ia bersembunyi dalam kekafiran.
#5. Kesesatan Hawa Nafsu
Nabi sangat takut jika umatnya berada dalam kesesatan hawa nafsu dan syahwat.  Mereka cenderung mengikuti hawa nafsu baik perut maupun kemaluan. Satu satu faktor yang menyebabkan seseorang mengikuti hawa nafsu, ialah meninggalkan sholat.

#6. Lalai Meskipun Tahu
Adab yang paling keras akan ditimpakan Alloh kepada yang ‘alim tetapi tidak mengamalkan ilmunya.
#7. Percaya Dukun dan Mengingkari Takdir
Siapa orang yang datang ke orang pintar (dukun), bertanya sesuatu dan mengimani ucapannya, maka sholatnya selama 40 hari tidak diterima. Saat ini, banyak orang islam yang percaya dukun karena ingin naik pangkat, laris usahanya, dan lain sebagainya. Hal ini sangat bertentangan dengan ajaran Islam, sampai-sampai nabi mengkhawatirkan jika hal ini terjadi kepada umatnya.
(Dikutip dari pengajian Ahad, 21 Feb 2010, Mesjid Darussalam Kota Wisata)