Sabtu, 11 Juni 2011

Dua Polisi yang Menyaksikan Eksekusi atas Sayyid Qutb


Ulama, da’i, serta para penyeru Islam yang mempersembahkan nyawanya di Jalan Allah, atas dasar ikhlash kepadaNya, sentiasa ditempatkan Allah sangat tinggi dan mulia di hati segenap manusia.

Di antara da’i dan penyeru Islam itu adalah Syuhada (insya Allah) Sayyid Qutb. Bahkan peristiwa eksekusi matinya yang dilakukan dengan cara digantung, memberikan kesan mendalam dan menggetarkan bagi siapa saja yang mengenal Beliau atau menyaksikan sikapnya yang teguh. Di antara mereka yang begitu tergetar dengan sosok mulia ini adalah dua orang polisi yang menyaksikan eksekusi matinya (di tahun 1966).
Salah seorang polisi itu mengetengahkan kisahnya kepada kita:
Ada banyak peristiwa yang tidak pernah kami bayangkan sebelumnya, lalu peristiwa itu menghantam kami dan merubah total kehidupan kami.
Di penjara militer pada saat itu, setiap malam kami menerima orang atau sekelompok orang, laki-laki atau perempuan, tua maupun muda. Setiap orang-orang itu tiba, atasan kami menyampaikan bahwa orang-orang itu adalah para pengkhianat negara yang telah bekerja sama dengan agen Zionis Yahudi. Karena itu, dengan cara apapun kami harus bias mengorek rahasia dari mereka. Kami harus dapat membuat mereka membuka mulut dengan cara apapun, meski itu harus dengan menimpakan siksaan keji pada mereka tanpa pandang bulu.
Jika tubuh mereka penuh dengan berbagai luka akibat pukulan dan cambukan, itu sesuatu pemandangan harian yang biasa. Kami melaksanakan tugas itu dengan satu keyakinan kuat bahwa kami tengah melaksanakan tugas mulia: menyelamatkan negara dan melindungi masyarakat dari para “pengkhianat keji” yang telah bekerja sama dengan Yahudi hina.
Begitulah, hingga kami menyaksikan berbagai peristiwa yang tidak dapat kami mengerti. Kami mempersaksikan para ‘pengkhianat’ ini sentiasa menjaga shalat mereka, bahkan sentiasa berusaha menjaga dengan teguh qiyamullail setiap malam, dalam keadaan apapun. Ketika ayunan pukulan dan cabikan cambuk memecahkan daging mereka, mereka tidak berhenti untuk mengingat Allah. Lisan mereka sentiasa berdzikir walau tengah menghadapi siksaan yang berat.
Beberapa di antara mereka berpulang menghadap Allah sementar ayunan cambuk tengah mendera tubuh mereka, atau ketika sekawanan anjing lapar merobek daging punggung mereka. Tetapi dalam kondisi mencekam itu, mereka menghadapi maut dengan senyum di bibir, dan lisan yang selalu basah mengingat nama Allah.
Perlahan, kami mulai ragu, apakah benar orang-orang ini adalah sekawanan ‘penjahat keji’ dan ‘pengkhianat’? Bagaimana mungkin orang-orang yang teguh dalam menjalankan perintah agamanya adalah orang yang berkolaborasi dengan musuh Allah?
Maka kami, aku dan temanku yang sama-sama bertugas di kepolisian ini, secara rahasia menyepakati, untuk sedapat mungkin berusaha tidak menyakiti orang-orang ini, serta memberikan mereka bantuan apa saja yang dapat kami lakukan. Dengan ijin Allah, tugas saya di penjara militer tersebut tidak berlangsung lama. Penugasan kami yang terakhir di penjara itu adalah menjaga sebuah sel di mana di dalamnya dipenjara seseorang. Kami diberi tahu bahwa orang ini adalah yang paling berbahaya dari kumpulan ‘pengkhianat’ itu. Orang ini adalah pemimpin dan perencana seluruh makar jahat mereka. Namanya Sayyid Qutb.
Orang ini agaknya telah mengalami siksaan sangat berat hingga ia tidak mampu lagi untuk berdiri. Mereka harus menyeretnya ke Pengadilan Militer ketika ia akan disidangkan. Suatu malam, keputusan telah sampai untuknya, ia harus dieksekusi mati dengan cara digantung.
Malam itu seorang sheikh dibawa menemuinya, untuk mentalqin dan mengingatkannya kepada Allah, sebelum dieksekusi.
(Sheikh itu berkata, “Wahai Sayyid, ucapkanlah Laa ilaha illa Allah…”. Sayyid Qutb hanya tersenyum lalu berkata, “Sampai juga engkau wahai Sheikh, menyempurnakan seluruh sandiwara ini? Ketahuilah, kami mati dan mengorbankan diri demi membela dan meninggikan kalimat Laa ilaha illa Allah, sementara engkau mencari makan dengan Laa ilaha illa Allah”. Pent)
Dini hari esoknya, kami, aku dan temanku, menuntun dan tangannya dan membawanya ke sebuah mobil tertutup, di mana di dalamnya telah ada beberapa tahanan lainnya yang juga akan dieksekusi. Beberapa saat kemudian, mobil penjara itu berangkat ke tempat eksekusi, dikawal oleh beberapa mobil militer yang membawa kawanan tentara bersenjata lengkap.
Begitu tiba di tempat eksekusi, tiap tentara menempati posisinya dengan senjata siap. Para perwira militer telah menyiapkan segala hal termasuk memasang instalasi tiang gantung untuk setiap tahanan. Seorang tentara eksekutor mengalungkan tali gantung ke leher Beliau dan para tahanan lain. Setelah semua siap, seluruh petugas bersiap menunggu perintah eksekusi.
Di tengah suasana ‘maut’ yang begitu mencekam dan menggoncangkan jiwa itu, aku menyaksikan peristiwa yang mengharukan dan mengagumkan. Ketika tali gantung telah mengikat leher mereka, masing-masing saling bertausiyah kepada saudaranya, untuk tetap tsabat dan shabr, serta menyampaikan kabar gembira, saling berjanji untuk bertemu di Surga, bersama dengan Rasulullah tercinta dan para Shahabat. Tausiyah ini kemudian diakhiri dengan pekikan, “ALLAHU AKBAR WA LILLAHIL HAMD!” Aku tergetar mendengarnya.
Di saat yang genting itu, kami mendengar bunyi mobil datang. Gerbang ruangan dibuka dan seorang pejabat militer tingkat tinggi datang dengan tergesa-gesa sembari memberi komando agar pelaksanaan eksekusi ditunda.
Perwira tinggi itu mendekati Sayyid Qutb, lalu memerintahkan agar tali gantungan dilepaskan dan tutup mata dibuka. Perwira itu kemudian menyampaikan kata-kata dengan bibir bergetar, “Saudaraku Sayyid, aku datang bersegera menghadap Anda, dengan membawa kabar gembira dan pengampunan dari Presiden kita yang sangat pengasih. Anda hanya perlu menulis satu kalimat saja sehingga Anda dan seluruh teman-teman Anda akan diampuni”.
Perwira itu tidak membuang-buang waktu, ia segera mengeluarkan sebuah notes kecil dari saku bajunya dan sebuah pulpen, lalu berkata, “Tulislah Saudaraku, satu kalimat saja… Aku bersalah dan aku minta maaf…”
(Hal serupa pernah terjadi ketika Ustadz Sayyid Qutb dipenjara, lalu datanglah saudarinya Aminah Qutb sembari membawa pesan dari rejim thowaghit Mesir, meminta agar Sayyid Qutb sekedar mengajukan permohonan maaf secara tertulis kepada Presiden Jamal Abdul Naser, maka ia akan diampuni. Sayyid Qutb mengucapkan kata-katanya yang terkenal, “Telunjuk yang sentiasa mempersaksikan keesaan Allah dalam setiap shalatnya, menolak untuk menuliskan barang satu huruf penundukan atau menyerah kepada rejim thowaghit…”. Pent)
Sayyid Qutb menatap perwira itu dengan matanya yang bening. Satu senyum tersungging di bibirnya. Lalu dengan sangat berwibawa Beliau berkata, “Tidak akan pernah! Aku tidak akan pernah bersedia menukar kehidupan dunia yang fana ini dengan Akhirat yang abadi”.
Perwira itu berkata, dengan nada suara bergetar karena rasa sedih yang mencekam, “Tetapi Sayyid, itu artinya kematian…”
Ustadz Sayyid Qutb berkata tenang, “Selamat datang kematian di Jalan Allah… Sungguh Allah Maha Besar!”
Aku menyaksikan seluruh episode ini, dan tidak mampu berkata apa-apa. Kami menyaksikan gunung menjulang yang kokoh berdiri mempertahankan iman dan keyakinan. Dialog itu tidak dilanjutkan, dan sang perwira memberi tanda eksekusi untuk dilanjutkan.
Segera, para eksekutor akan menekan tuas, dan tubuh Sayyid Qutb beserta kawan-kawannya akan menggantung. Lisan semua mereka yang akan menjalani eksekusi itu mengucapkan sesuatu yang tidak akan pernah kami lupakan untuk selama-lamanya… Mereka mengucapkan, “Laa ilaha illah Allah, Muhammad Rasulullah…”
Sejak hari itu, aku berjanji kepada diriku untuk bertobat, takut kepada Allah, dan berusaha menjadi hambaNya yang sholeh. Aku sentiasa berdoa kepada Allah agar Dia mengampuni dosa-dosaku, serta menjaga diriku di dalam iman hingga akhir hayatku.
Diambil dari kumpulan kisah: “Mereka yang kembali kepada Allah”

Oleh: Muhammad Abdul Aziz Al Musnad

Diterjemahkan oleh Dr. Muhammad Amin Taufiq.
Courtesy: Al Firdaws English Forum

Hukum Meremehkan Shalat

Maka datanglah sesudah mereka pengganti (yang jelek) yang meremehkan shalat dan menuruti hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesaatan. Kecuali orang yang bertaubat, beriman dan beramal shaleh.” (Qs. Maryam : 59-60)
Ibnu Katsir dalam kitab kitab tafsirnya al-Quran al-‘Adzim telah menyebutkan pendapat para ulama dalam mengomentari ayat di atas di antaranya; Muhammad bin Ka’ab, as-Sa’di dan Ibnu Jarir berpendapat bahwa yang disebut meremehkan shalat adalah meninggalkan shalat secara keseluruhan (tidak shalat). Al-Auza’i berkata bahwa Umar bin ‘Abdul ‘Aziz mengatakan, “Meremehkan shalat bukan berarti meninggalkannya akan tetapi meremehkan waktunya.” Dan Hasan al-Bashri berpendapat bahwa maksud meremehkan shalat adalah meninggalkan masjid.
Sa’id bin Musayyib mengatakan, “Pengertian meninggalkan shalat bukan berarti meninggalkan shalat itu sama sekali, akan tetapi Orang itu tidak shalat Ashar, Dzuhur kecuali hingga datangnya waktu Maghrib, tidak shalat Maghrib hingga datangnya waktu Isya’ dan tidak shalat Isya’ hingga datangnya Fajar.”
Pada ayat yang lain Allah SWT berfirman: “Maka celakalah orang-orang yang shalat. Yaitu orang-orang yang lalai dari shalatnya.” (QS. Al-Ma’un : 4-5)
Sa’ad bin Abi Waqqash ra berkata, “Aku telah bertanya kepada Rasulullah SAW tentang mereka yang melalaikan shalatnya, maka beliau menjawab, “Yaitu mengakhirkan waktu.“ Yakni mengakhirkan waktu shalat.
Akibat Meremehkan dan Meninggalkan Shalat
Pertama, Orang yang meremehkan shalat termasuk dalam golongan orang-orang yang merugi.
Allah SWT berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barang siapa yang berbuat demikian, maka mereka itulah orang-orang yang rugi.” (QS. Al-Munaafiqun : 9)
Menurut Ahli Tafsir bahwa kata “dzikrullah“ (mengingat Allah SWT) yaitu shalat lima waktu. Barang siapa yang disibukkan dengan harta, jual beli, mencari penghidupan, mengurus anak-anaknya sehingga melalaikan shalat (keluar dari waktunya), maka mereka termasuk orang-orang yang rugi.
Rasulullah SAW bersabda, “Pertama kali yang akan dihisab pada seseorang pada hari kiamat dari amalnya, yaitu shalatnya. Jika shalatnya benar, maka ia beruntung dan berhasil. Dan jika shalatnya itu kurang (tidak benar), maka ia akan rugi dan menyesal.” (HR. Ahmad, ath-Thabrani, dan al-Hakim)
Kedua, Orang yang meremehkan shalat termasuk orang yang tidak memiliki agama.
Umar bin Khathab ra berkata, “Telah datang seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah SAW seraya berkata, ‘Ya Rasulullah! Amal apakah yang paling dicintai Allah dalam Islam?’ Nabi SAW menjawab, ‘Shalat pada waktunya. Barang siapa yang meninggalkan shalat, maka ia tidak beragama, dan shalat itu adalah tiang agama.’”
Ketiga, Meremehkan shalat termasuk dosa besar setelah syirik.
Ibnu Hazm berkata: “Tidak ada dosa yang lebih besar sesudah syirik, kecuali bagi orang yang mengakhirkan shalatnya dari waktu yang sebenarnya, dan juga membunuh seorang mukmin dengan cara yang tidak benar.”
Keempat, Shalat akan berdo’a agar Allah SWT mengabaikan orang yang mengabaikan shalat.
Rasulullah SAW bersabda: “Jika seseorang shalat pada awal waktunya, maka shalat itu akan naik ke atas langit menyerupai cahaya hingga berhenti di ‘Arsy. Lalu shalat itu memintakan ampun untuk pelakunya hingga hari kiamat sambil mengatakan, ‘Semoga Allah melindungimu, sebagaimana engkau telah menjaga aku. Dan jika seorang shalat di luar waktunya, maka shalatnya itu naik ke atas langit dengan diliputi kegelapan. Kemudian jika telah sampai ke atas langit, lalu dilipatlah shalat orang itu seperti melipat kain yang robek, dan kemudian dipikulkan kepada pelaku shalat tersebut sambil berucap, ‘Semoga Allah mengabaikan kamu sebagaimana engkau telah mengabaikan aku.” (HR. Ath-Thabrani).
Kelima, Orang yang meremehkan shalat telah mendatangi salah satu pintu dari pintu-pintu dosa besar.
Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa yang mengumpulkan dua shalat tanpa berhalangan, maka sungguh dia telah mendatangi pintu besar dari pintu-pintu dosa besar.” (HR. At-Tirmidzi dan al-Hakim).
Anjuran Menunaikan Shalat Berjama’ah
Rasulullah SAW sangat menganjurkan kepada umatnya untuk menunaikan shalat secara berjama’ah. Sebagaimana sabda beliau: “Sungguh aku bermaksud untuk memerintahkan shalat, maka dirikanlah shalat. Kemudian aku memerintahkan orang untuk menjadi imam shalat diantara manusia. Lalu aku pergi, dan bersamaku beberapa orang yang membawa ikatan-ikatan kayu menuju orang-orang yang tidak mau menunaikan shalat berjama’ah itu. Lalu aku membakar rumah-rumah mereka dengan api.” (HR. Bukhari Muslim)
Ka’ab al-Akhbar berkata: “Demi Allah tidaklah turun ayat ini (Qs. al-Qalam 42-43) kecuali pada mereka yang tidak mau bershalat berjama’ah.”
Ali bin Abi Thalib ra berkata, “Tidak ada shalat bagi orang yang bertetangga dengan masjid, kecuali di masjid.” Seseorang bertanya, “Siapakah tetangga masjid itu?” Ali menjawab, “Yaitu orang yang mendengarkan suara adzan.” (HR. Al-Hakim)
Ibnu Umar ra berkata, “Kami jika melihat ada orang yang ketinggalan shalat Isya” dan Shubuh dengan berjama’ah, maka kami buruk sangka bahwa dia itu adalah orang yang munafiq.” (HR. Thabrani dan Ibnu Khuzaimah). Wallahu a’lam bishshawab.

SHALAT LAIL MENGHAPUS DOSA

عن معاذ بن جبل رضي الله عنه قال : قلت يا رسول الله أخبرني عن عمل يدخلني الجنة و يباعدني عن النار ؟ قال - لقد جئت تسأل عن عظيم وإنه ليسير على من يسره الله تعالى عليه : تعبد الله لا تشرك به شيئاً وتقيم الصلاة وتؤتي الزكاة وتصوم رمضان وتحج البيت , ثم قال : ألا أدلك على أبواب الخير ؟ الصوم جُنة والصدقة تطفئ الخطيئة كما يطفئ الماء النار , وصلاة الرجل في جوف الليل ثم تلا - تَتَجَافَى جُنُوبُهُمْ عَنِ الْمَضَاجِعِ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ خَوْفًا وَطَمَعًا وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُون*فَلَا تَعْلَمُ نَفْسٌ مَا أُخْفِيَ لَهُمْ مِنْ قُرَّةِ أَعْيُنٍ جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونََ - ]السجدة16-17]... ثم قال ألا أخبرك برأس الأمر وعموده وذروة سنامه ؟ - قلت : بلى , يا رسول الله قال " رأسٍ الإسلام , وعموده الصلاة وذروة سنامه الجهاد " ثم قال : ألا أخبرك بملاك ذلك كله ؟ " فقلت ك بلى يا رسول الله , فأخذ بلساني وقال - كف عليك هذا - فقلت : يا نبي الله , و إنا لمؤاخذون بما نتكلم ؟ فقال- ثكلتك أمك , وهل يكب الناس في النار على وجوههم - أو قال - على مناخرهم إلا حصائد ألسنتهم ؟! - رواه الترمذي وقال : حديث حسن صحيح

Dari Mu’adz bin Jabal radhiallahu 'anhu, ia berkata : Aku berkata : “Ya Rasulullah, beritahukanlah kepadaku suatu amal yang dapat memasukkan aku ke dalam surga dan menjauhkan aku dari neraka”. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menjawab, “Engkau telah bertanya tentang perkara yang besar, dan sesungguhnya itu adalah ringan bagi orang yang digampangkan oleh Allah ta’ala. Engkau menyembah Allah dan jangan menyekutukan sesuatu dengan-Nya, mengerjakan shalat, mengeluarkan zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan, dan mengerjakan haji ke Baitullah”. Kemudian beliau bersabda : “Inginkah kuberi petunjuk kepadamu pintu-pintu kebaikan? Puasa itu adalah perisai, shadaqah itu menghapuskan kesalahan sebagaimana air memadamkan api, dan shalat seseorang di tengah malam”. Kemudian beliau membaca ayat : “Tatajaafa junuubuhum ‘an madhaaji’… hingga …ya’maluun“. Kemudian beliau bersabda: “Maukah bila aku beritahukan kepadamu pokok amal tiang-tiangnya dan puncak-puncaknya?” Aku menjawab : “Ya, wahai Rasulullah”. Rasulullah bersabda : “Pokok amal adalah Islam, tiang-tiangnya adalah shalat, dan puncaknya adalah jihad”. Kemudian beliau bersabda : “Maukah kuberitahukan kepadamu tentang kunci semua perkara itu?” Jawabku : “Ya, wahai Rasulullah”. Maka beliau memegang lidahnya dan bersabda : “Jagalah ini”. Aku bertanya : “Wahai Rasulullah, apakah kami dituntut (disiksa) karena apa yang kami katakan?” Maka beliau bersabda : “Semoga engkau selamat. Adakah yang menjadikan orang menyungkurkan mukanya (atau ada yang meriwayatkan batang hidungnya) di dalam neraka, selain ucapan lidah mereka?” (HR. Tirmidzi, ia berkata : “Hadits ini hasan shahih)




Sabda beliau “engkau telah bertanya tentang perkara yang besar, dan sesungguhnya itu adalah ringan bagi orang yang digampangkan oleh Allah ta’ala”, maksudnya bagi orang yang diberi taufiq oleh Allah kemudian diberi petunjuk untuk beribadah kepada-Nya dengan menjalankan agama secara benar, yaitu menyembah kepada Allah tanpa sedikit pun menyekutukan-Nya dengan yang lain.

Kemudian sabda beliau “mengerjakan shalat”, yaitu melaksanakannya dengan cara dan keadaan paling sempurna. Kemudian beliau menyebutkan syari’at-syari’at Islam yang lain, seperti zakat, puasa dan haji.

Kemudian sabda beliau “inginkah kuberi petunjuk kepadamu pintu-pintu kebaikan? Puasa itu adalah perisai”, maksudnya adalah selain puasa Ramadhan, Jadi, maksudnya ialah banyak berpuasa sunnat. Perisai maksudnya ialah puasa itu menjadi tirai dan penjaga dirimu dari siksa neraka.

Kemudian sabda beliau “shadaqah itu menghapuskan kesalahan”. Maksud shadaqah di sini adalah zakat.

Sabda beliau “shalat seseorang di tengah malam”.

Kemudian beliau membaca ayat :

تَتَجَافَى جُنُوبُهُمْ عَنِ الْمَضَاجِعِ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ خَوْفًا وَطَمَعًا وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُون*فَلَا تَعْلَمُ نَفْسٌ مَا أُخْفِيَ لَهُمْ مِنْ قُرَّةِ أَعْيُنٍ جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونََ - ]السجدة16-17]

“Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, sedang mereka berdo’a kepada Tuhannya dengan rasa takut dan harap, dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang kami berikan kepada mereka. Maka suatu jiwa tidak dapat mengetahui apa yang dirahasiakan untuk mereka, yaitu balasan yang menyejukkan mata, sebagai ganjaran dari amal yang telah mereka lakukan”.
(QS. As Sajadah 32 : 16-17)

maksudnya orang yang shalat tengah malam, dia mengorbankan kenikmatan tidurnya dan lebih mengutamakan shalat karena semata-mata mengharapkan pahala dari Tuhannya, seperti tersebut pada firman-Nya :

“Maka suatu jiwa tidak dapat mengetahui apa yang dirahasiakan untuk mereka, yaitu balasan yang menyejukkan mata, sebagai ganjaran dari amal yang telah mereka lakukan”.

Dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa Allah sangat membanggakan orang-orang yang melakukan shalat malam di saat gelap dengan firman-Nya dalam sebuah Hadits Qudsi :

“Lihatlah hamba-hamba-Ku ini. Mereka berdiri shalat di gelap malam saat tidak ada siapa pun melihatnya selain Aku. Aku persaksikan kepada kamu sekalian (para malaikat) sungguh Aku sediakan untuk mereka negeri kehormatan-Ku”.

Sabda beliau :

“Maukah kuberitahukan kepadamu tentang kunci semua perkara itu?” Jawabku : “Ya, wahai Rasulullah”. Maka beliau memegang lidahnya dan bersabda : “Jagalah ini”. Aku bertanya : “Wahai Rasulullah, apakah kami dituntut (disiksa) karena apa yang kami katakan?” Maka beliau bersabda : “Semoga engkau selamat. Adakah yang menjadikan orang menyungkurkan mukanya (atau ada yang meriwayatkan batang hidungnya) di dalam neraka, selain ucapan lidah mereka?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam mengumpamakan perkara ini dengan unta jantan dan Islam dengan kepala unta, sedangkan hewan tidak akan hidup tanpa kepala.

Kemudian sabda beliau “tiang-tiangnya adalah shalat”. Tiang suatu bangunan adalah alat penyangga yang menegakkan bangunan tersebut, karena bangunan tidak akan dapat berdiri tegak tanpa tiang.

Sabdanya “puncaknya adalah jihad”, artinya jihad itu tidak tertandingi oleh amal-amal lainnya, sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Hurairah. Ia berkata bahwa ada seseorang lelaki datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam lalu berkata :

“Tunjukkan kepadaku amal yang sepadan dengan jihad”. Sabda beliau : “Tidak aku temukan”. Kemudian sabda beliau : “Adakah engkau sanggup masuk ke dalam masjid, lalu kamu melakukan shalat Lail tanpa henti dan puasa tanpa berbuka selama seorang mujahid pergi (berperang)?” Orang itu menjawab : “Siapa yang sanggup berbuat begitu!”

Sabdanya : “maukah kuberitahukan kepadamu tentang kunci semua perkara itu?” Jawabku : “Ya, wahai Rasullah”. Maka beliau memegang lidahnya dan bersabda : “Jagalah ini”, maksudnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menggalakkan dia pertama kali untuk berjihad melawan orang kafir, kemudian dialihkan kepada jihad yang lebih besar, yaitu jihad melawan hawa nafsu, menahan perkataan yang menyakitkan atau menimbulkan kerusakan karena sebagian besar manusia masuk neraka karena lidahnya.


Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam : “Semoga engkau selamat. Adakah yang menjadikan orang menyungkurkan mukanya (atau ada yang meriwayatkan batang hidungnya) di dalam neraka, selain ucapan lidah mereka?” Penjelasannya telah ada pada Hadits riwayat Bukhari dan Muslim yang berbunyi :
“Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhirat hendaklah ia berkata baik atau diam”.

Demikian juga pada Hadits lain disebutkan :
“Barang siapa memberi jaminan kepadaku untuk menjaga apa yang ada di antara kedua bibirnya dan apa yang ada di antara kedua pahanya, maka aku jamin dia masuk surga”


Refrensi:

الأربعون النووية

Hadits Arba'in An-Nawawi
Dengan Syarah Ibnu Daqiqil 'Ied

Wallahua'lam bishshsowwab
Semoga bermanfaat

Syahadah Cinta

Kamis, 02/06/2011 06:48 WIB | email | cetak

Senja ini, di antara syahdu angin laut yang bernyanyi. Seirama dengan tarian ombak yang menggulung-gulung memecah pantai. Menyusuri buti-butir pasir yang kemilau oleh mentari yang mengintip malu dibalik tirai senja. Diiringi panorama burung-burung yang meliuk-liuk indah di angkasa. Tenang, damai, mendengar alam bernyanyi layaknya vokal grup yang saling melengkapi. Subhanallah. Maha Suci Allah yang menciptakan alam sedemikian indah ini. Dan aku seakan-akan mendengar mereka semua melantunkan Surat Ar-Rahman berbisik ditelingaku
“Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan? Tuhan yang memelihara kedua tempat terbit matahari dan Tuhan yang memelihara kedua tempat terbenamnya. Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan? Dia membiarkan dua lautan mengalir yang keduanya Kemudian bertemu, Antara keduanya ada batas yang tidak dilampaui masing-masing. Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan? Dari keduanya keluar mutiara dan marjan. Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan? Dan kepunyaanNya lah bahtera-bahtera yang Tinggi layarnya di lautan laksana gunung-gunung. Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?” (QS. Ar-Rahman [55] : 16-25)
Aku berdiri di tepian pantai. Mataku tajam menatap lautan yang membentang luas. Jiwaku jadi kerdil. Betapa kecilnya diri ini jika dibandingkan makhlukNya yang lain. Apa lagi jika dibanding dengan Dia yang menciptakan ini semua. Allahuakbar! Maha Besar Allah dengan semua ciptaanNya.
Kilau mentari yang menghiasi langit senja ini semakin indah dan semakin meninggalkan hari. Rasanya ingin berlama-lama di bibir pantai ini. Mentafakuri dan menikmati ciptaanNya yang jarang sekali aku lihat kecuali ketika aku pulang ke Lampung.
“Gie...!!!” Teriak seseorang dari arah belakangku yang sangat aku kenal.
Endi namanya. Dia sahabat dekatku. Dia yang pertama kali mengajakku ke pantai ini ketika aku pulang setahun yang lalu.
“Ya...!”
“Sudah jam 5 lewat ¼, balik yu!”
Aku hanya tersenyum menatapnya. Dia datang menghampiriku dan merangkul pundakku dengan akrab.
“Sudahlah! Allah pasti punya rencana indah buatmu.”
“Aku percaya itu. Tapi...”
“Tapi apa? Aku nggak mengenal Gie sahabatku yang mudah lemah seperti ini. Aku kenal Gie seperti dia menatap setitik perahu yang jauh di lautan luas sana.” Sambil tangannya menunjuk kearah perahu di tengah lautan. “Gie yang fokus pada mimpi dan tujuan-tujuan besarnya. Kamu bukan Gie yang runtuh semangatnya hanya karena satu benturan. Perkara jodoh, Allah berjanji akan memberikan yang baik buat hamba-hambaNya yang baik. Jadi ikhtiarmu dalam mencari bidadarimu itu, hanyalah dengan terus berupaya memperbaiki diri kawan.” Jawabnya tegas berupaya mengingatkanku.
“Hemm... benar Ndi. Mungkin memang belum saatnya aku untuk menikah dalam waktu dekat ini.”
“Kamu harus tahu apa yang diinginkan bapak dan ibumu. Dia ingin anaknya bisa selesai S1-nya. Bisa mengejar mimpi dan cita-citanya. Betapa bangganya ibumu ketika ia cerita padaku, kalau anak pertamanya bisa melanjutkan sekolahnya di perguruan tinggi dengan biaya sendiri tanpa harus membebani orang tua. Pendidikan tinggi di kampung kita itu barang langka Gie. Ibu dan bapakmu bangga kamu bisa menjadi harapan keluarga. Lihat adikmu yang masih sekolah. Kamu masih harus membantu biaya sekolahnya.” Cerita Endi padaku. Aku pun tak sanggup menahan airmata mendengarnya.
Tiba-tiba teringat wajah ibuku yang terlihat lelah membesarkan anaknya. Teringat setiap kali aku pulang ke rumah ia selalu mencium kening dan pipiku. Teringat wajah bapak yang mulai menua dan berkurang produktifnya. Aku tak sanggup lagi menahan tangisku disaksikan laut, mentari dan langit senja. Endi mendekapku kencang. Ia sangat tahu seperti apa perasaanku.
“Maaf sobat! Aku hanya ingin kamu menjadi setegar karang yang diterpa ombak. Aku ingin kamu seperti elang yang terbang di angkasa sana yang tak pernah surut untuk turun meski angin kencang menerpanya. Kamu pahlawan buat keluargamu. Aku bangga punya sahabat sepertimu.” Lanjutnya membesarkan hatiku.
Aku sela air mataku, aku tatap matanya, lalu kukatakan, “aku juga bangga punya sahabat sepertimu, yang sangat peduli dan mengerti perasaan sahabatnya”. Jawabku sambil aku balas dekapannya.
“Kalau kamu bisa penuhi apa yang orangtuamu inginkan dan membuat mereka bangga, jangankan satu. Empat sekaliguspun mereka pasti akan mengiyakan!”
“Ah.. bisa aja.” Sela ku. Aku hanya tersenyum. “Ibu sebenarnya sih mengizinkan aku menikah. Tapi ya itu tadi, betul katamu. Ibu khawatir kuliahku berhenti ditengah jalan. Dia ingin aku selesai kuliah dulu.”
“Tapi kamu belum sampai jauh dengan gadis itu kan?” Tanya Endi.
“Maksudmu?”
“Eee... ee.. Nggak pacaran kan?”
“Astagfirullah! Ya nggak Ndi! Kamu kayak baru kenal aku aja!” Tegasku sambil melotot.
“Maaf, maaf! Aku hanya khawatir aja! Tapi dia tahu perasaanmu?”
“Enggak!” jawabku sambil menggelengkan kepala. “Cuma kamu, Ibu dan Bapak yang tahu tentang perasaanku ini! Dan aku gak akan mengungkapkan perasaanku ini kecuali dengan wanita yang sah menjadi istriku.” Tegasku.
“Dia akhwat teman satu fakultas.” Lanjutku bercerita. “Setiap kali kuliah aku pasti ketemu dia. Entah dia duduk di depan. Entah dia duduk di belakang. Itu yang menyiksa perasaanku. Aku coba fokus pada pelajaran. Tapi tetap saja aku gak bisa menghilangkan perasaan ini. Aku coba untuk rajin puasa. Bahkan puasa daud. Bahkan aku sering bangun malam. Menangis. Mengadukan semuanya pada Allah. Tetapi belum tampak Allah memberikan jawabannya padaku. Aku semakin disiksa dengan perasaanku karena setiap hari harus bertemu dengan dia di kampus.”
“Ck.. ck.. ck..,” gerutu Endi sambil menggelengkan kepala. “Itu manusiawi Gie. Bukan hanya kamu. Pemuda di seluruh dunia juga pernah merasakan apa yang kamu rasakan. Allah sedang mengujimu. Apakah kamu sanggup menjaga kehormatan dan kesucian dirimu, sampai kamu sabar dan Allah memberikan pertolonganNya. Coba kamu sibukkan dirimu dengan hal-hal yang positif dan berusahalah pelan-pelan untuk melupakannya.”
“Aku sudah coba dengan memadatkan agenda dakwahku di luar jam kerja dan jam kuliahku. Tapi kalau setiap kali kuliah ketemu dia gimana aku bisa melupakannya? Apa aku berhenti kuliah saja?”
“Gie...! Gie...! Baru aku bilang. Ingat ibumu yang sangat ingin kamu selesai S1. Coba setiap kali kamu ingat dia, hadirkan wajah ibumu. Perasaan itu adalah fitrah manusia. Allah sedang mengujimu. Kalau kamu sabar untuk tetap menjaga kesucian dirimu untuk tidak terjerumus kepada hal-hal yang Allah tidak ridhai, Allah pasti akan memberikan pertolonganNya padamu. Kamu ingat firman Allah di surat Al-Baqarah 153,
Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.
Astagfirullahaladzim, gumamku dalam hati. Ya Allah ampuni aku yang tidak bisa sabar menghadapi ujianMu ini.
Aku peluk erat Endi, dan aku katakan lirih ditelinganya. “Benar Ndi! Terimakasih nasehatmu. Kamu selalu menguatkanku saat aku lemah.”
“Aku sahabatmu Gie. Aku bisa pahami itu.”
“Oya Gie,” endi melepaskan pelukannya. “kalau seandainya Ibu dan bapak merestuimu untuk menikah. Apa gadis itu juga suka sama kamu? Dan apa dia mau sama kamu?”
Glek!
Aku terdiam beberapa detik.
“Iya juga. Apa dia mau sama aku ya?”
“Nah, kalau dia mau sama kamu, belum tentu juga siap untuk nikah. Masalah lagi!”
Tambahnya lagi.
Aku diam terbengong. Sepertinya ada burung gagak yang menyambar kepalaku.
“Hehehe.. koq bengong! Nah itu artinya kamu gak usah terlalu dibawa perasaan. Kalau itu juga gak jelas! Ya sudah!
“Sebentar lagi magrib, ke masjid yuk!”
“Ayo” jawabku pendek.
Sepanjang perjalanan ke masjid aku coba merenungi kata-kata terakhirnya. Benar juga, kenapa harus aku merasa tersiksa dengan perasaanku. Aku juga tidak tahu apa akhwat itu bersedia menikah denganku.
***
Ba’da Magrib kami putuskan untuk pulang. Kami membawa kendaraan motor dari rumah. Karena memang jarak pantai beberapa kilo dari rumah. Aku yang berada di depan membawa motornya dan Endi berada di belakang aku bonceng.
Setelah selesai shalat magrib dan sepanjang perjalanan aku merasakan sesuatu yang aneh. Seperti ada orang yang membuntuti kami setelah keluar dari masjid. Aku merasa seperti punya janji terhadap seseorang. Tetapi aku lupa janji apa itu.
“Gie, kapan balik lagi ke Tangerang?” tanya Endi coba memecahkan keheningan di perjalanan.
“Besok pagi. Insya Allah.”
“Berarti ini kebersamaan kita yang terakhir?” Mimiknya sedikit kecewa
“Insya Allah pasti kita ketemu lagi.” Jawabku mencoba mengobati kecewanya.
“Ndi, kamu liat orang yang naik motor dibelakang kita nggak? Kayaknya buntutin kita dari tadi.”
“Yang mana? Nggak ada siapa-siapa koq!” Tegas Endi sambil memperhatikan kebelakang
“Liat di kaca spion. Pakaiannya serba hitam.”
Sssiiittt...
Aku hentikan kendaraan dan coba menoleh kebalakang. Dia, pria berpakaian hitam itu juga ikut berhenti dengan kendaraannya. Hatiku menjadi gelisah. Ada perasaan takut yang tiba-tiba menghantuiku begitu dahsyat.
“Gie, kamu lihat apa sih?”
“Lihat dibelakang kita. Kendaraan itu juga ikut berhenti. Sepertinya memang ada sesuatu yang ia inginkan dari kita.”
“Apa? Aku nggak lihat apa-apa Gie?”
Aku tidak peduli apa tanggapan Endi. Tapi aku merasa sangat takut sekali. Aku tancap gas dengan kecepatan yang tinggi! Aku ucapkan kalimat tauhid sepanjang perjalanan.
“Laa ilaha ilallah... Laa ilaha ilallah”
“Gie.. Pelan-pelan!” Teriak Endi.
Aku tidak peduli dengan teriakan Endi. Aku perhatikan kaca spion, sepertinya dia mengimbangi kecepatanku. Aku tambah kecepatanku. Dia semakin mendekat dibelakang. Aku semakin takut tidak karuan. Aku ambil kanan mendahului beberapa kendaraan. Sesampai ditikungan, tiba-tiba muncul truk Fuso dari arah berlawanan. Dan aku tak dapat menghindari truk-fuso itu dengan kecepatan kendaraanku yang tinggi.
Endi berteriak, “GIEE...! AWAS...!”
Dan... DAR...!
Kendaraan kami menabrak truk Fuso itu. Endi terlempar jauh, dan aku terjatuh masuk kedalam kolong Fuso itu.
SSS...!
Tubuhku terasa panas seperti terbakar. Remuk seperti ada yang meremas.
“Gie... gie..” samar-samar terdengar suara Endi memanggilku
HE... AH...! HE... AH...! HE... AH...! Nafasku tersengal-sengal.
Tiba-tiba aku melihat sosok pria yang membuntuti kami tadi. Dia turun dari kendaraan dan berjalan kearahku. Semakin dekat. Semakin besar. Semakin seram. Aku tak dapat melihat wajahnya secara jelas. Aku semakin takut. Aku tersadar ternyata dia adalah Izrail. Malaikat Maut. Dia mendekatiku dan menggapai tubuhku yang remuk.
Dan tiba-tiba, semuanya menjadi gelap!
Kisah ini hanya fiktif semoga ada hikmahnya.
Wallahu alam bi shawab.
Tangerang, 11 November 2010

Seperti Apakah Sunnah Shalat Rawathib?

Assalamu'alaikum wr. w.b.
Pak ustadz yang saya hormati. Dari beberapa contoh atau perbuatan imam dan lainnya dalam pelaksanaan shalat sunat Rawathib dan shalat lainnya saya perhatikan, ada beberapa pertanyaan timbul yang perlu saya ajukan;
  1. Apakah shalat sunat Rawathib dan lainnya itu tidak perlu membaca do'a iftitah dan tidak membaca surah setelah membaca Al-Fatihah? atau cukupkah dengan membaca Surat Al-Fatihah saja. Karena saya perhatikan dan saya ikuti pelaksanaannya begitu cepat dalam satu rakaat. Tapi dari beberapa buku yang saya baca ada yang menganjurkan (sanahnya) membaca surah Al-Kafirun, Al-Ikhlas untuk Shalat sunat Rawathib (Qabliyah Shubuh) dan (Bakdiyah Magrib).
  2. Adakah shalat sunah Qabliyah Magrib? Karena hal ini sering saya temukan di Jakarta ini. Yang saya tahu shalat sunah sangat terlarang pada saat matahari tenggelam.
Demikian, atas perhatian Pak Ustazd saya ucapkan terima kasih.
yosfiah

Jawaban

 Waalaikumussalam Wr. Wb.
Saudara Yosfiah yang dimuliakan Allah SWT.
Istiftah adalah dzikir yang diucapkan untuk mengawali shalat setelah takbirotul ihram. Jumhur ulama berpendapat bahwa membacanya adalah sunnah didalam setiap shalat termasuk pada shalat-shalat rawatib. Didalam kitab al Mausu’ah al Fiqhiyah disebutkan pendapat Imam Nawawi yang mengatakan bahwa istiftaf adalah mustahab (dianjurkan) bagi setiap orang yang shalat baik imam, makmum, sendirian, wanita, anak kecil, musafir, yang shalat fardhu, sunnah, yang duduk, berbaring atau selain mereka.
Dia mengatakan didalamnya adalah shalat-shalat sunnah rawatib dan mutlak, shalat ‘id, gerhana dalam berdiri yang pertama dan juga shalat isitisqa (meminta hujan). Namun sebagian mereka mengecualikan shalat jenazah. (al Mausu’ah al Fiqhiyah juz II hal 1102)
Meskipun sunnah atau tidak ada kewajiban membaca istiftah ketika mengawali shalat namun tidak disyariatkan bagi seseorang yang melakukan shalat meninggalkannya secara sengaja.
Begitu juga dengan membaca surat setelah al fatihah maka jumhur ulama berpendapat bahwa hal itu adalah sunnah.
Didalam Fatawa al Islam Sual wa Jawab menyebutkan bahwa membaca al Qur’an setelah al Fatihah didalam shalat bukanlah kewajiban, tidak didalam shalat fardhu, sunnah, shalat yang dikeraskan bacaannya, dipelankan bacaannya, yang masbuk dan tidak pula yang lainnya.
Dari Atha berkata : Abu Hurairah berkata, "Pada setiap rakaat ada bacaannya. Apa yang Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam perdengarkan (keraskan) bacaannya kepada kami maka kamipun akan perdengarkan kepada kalian, dan apa yang Beliau sembunyikan (tidak mengeraskan bacaan) kepada kami, maka kamipun tidak mengeraskannya kepada kalian. Jika kalian tidak tambah selain Al Fatihah, maka itu sudah cukup. Namun bila kalian tambah setelahnya itu lebih baik." (Bukhori [738] dan padanya terdapat tambahan “dan jika kamu tambah maka itu lebih baik”. juga riwayat muslim [396])
Imam Nawawi mengatakan, ”Perkataannya, ’Barangsiapa yang membaca Ummul Kitab maka cukuplah itu baginya dan barangsiapa yang menambahnya maka itu lebih baik.” didalamnya terdapat dalil diwajibkannya al fatihah dan tidaklah cukup tanpanya. Didalamnya terdapat anjuran membaca surat setelahnya, ini adalah ijma’ didalam shalat shubuh, jum’at dan di setap dua rakaat pertama dalam setiap shalat dan ia adalah sunnah menurut seluruh ulama. al Qadhi ‘Iyyadh mengisahkan tentang sebagian pengikut Malik bahwa kewajiban membaca surat adalah keanehan dan ditolak. (Fatawa al Islam Sual wa Jawab , No. 6422)
Adapun tentang shalat rawatib sebelum maghrib maka jumhur ulama tidaklah memasukkannya kedalam sunnah-sunnah rawatib yang muakkad. Menurut jumhur, rawatib yang muakkad adalah 10 rakaat, yaitu dua rakaat sebelum shubuh, dua rakaat sebelum zhuhur, dua rakaat setelahnya, dua rakaat setelah maghrib dan dua rakaat setelah isya. Jumhur mendasarkan pendapatnya kepada apa yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Abdullah bin Umar "Aku menghafal sesuatu dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berupa shalat sunnat sepuluh raka'at yaitu; dua raka'at sebelum shalat Zhuhur, dua raka'at sesudahnya, dua raka'at sesudah shalat Maghrib di rumah Beliau, dua raka'at sesudah shalat 'Isya' di rumah Beliau dan dua raka'at sebelum shalat Shubuh, dan pada pelaksanaan shalat ini tidak ada waktu senggang buat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam ". Telah menceritakan kepada saya Hafshah: "Bahwasanya bila mu'adzin sudah mengumandangkan adzan dan fajar sudah terbit, Beliau shalat dua raka'at".
Jadi shalat rawatib qobliyah (sebelum) maghrib tidaklah tergolong kedalam shalat-shalat rawatib yang muakkad bahkan para ulama dari madzhab Hanafi memakruhkannya. Namun demikian bagi mereka yang ingin mengerjakannya maka ia dikerjakan setelah adzan maghrib dan sebelum shalat fardhu maghrib ditegakkan. Dan waktu seperti ini tidaklah termasuk kedalam waktu-waktu yang dilarang melakukan shalat didalamnya karena dilakukan setelah waktu maghrib masuk.
Diantara dalil mereka yang megatakan bahwa terdapat sunnah rawatib sebelum maghrib adalah apa yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Anas bin Malik berkata, "Jika seorang mu'adzin sudah mengumandangkan adzan (Maghrib), maka para sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berebut mendekati tiang-tiang (untuk shalat sunnat) sampai Nabi shallallahu 'alaihi wasallam keluar, sementara mereka tetap dalam keadaan menunaikan shalat sunnat dua rakaat sebelum Maghrib. Dan di antara adzan dan iqamat Maghrib sangatlah sedikit (waktunya)." 'Utsman bin Jailah dan Abu Daud menyebutkan dari Syu'bah, "Antara keduanya (adzan dan iqamat) tidak ada waktu kecuali sedikit."
Wallahu A’lam

Hukum Masuk Islam karena Ingin Menikahi Pasangan yang Muslim

assalamualaikum ustazd......
saya ada 2 pertanyaan yang ingin saya tanyakan pada ustazd.
1. apa pandangan islam terhadap seseorang yang bukan islam yang sanggup masuk islam disebabkan karena dia ingin menikah dengan pasangannya yang beragama islam.
2.bagaimanakah adab kita seorang muslim seandainya kita datang bertamu kerumah orang yg bukan islam seandainya kita diberi hidangan baik makanan atau minuman yang dibuat oleh tuan rumah tersebut. contoh hidangan nasi berlauk sayur dan tempe serta air teh.
mohon ustazd dapat memberi penjelasan pada sya yg dangkal ilmu ini.
terimakasih ustazd,wassalam
masuk islam karena pasangan

Jawaban

Waalaikumussalam Wr Wb
Tidak diperbolehkan bagi seorang wanita muslimah menikah dengan seorang lelaki yang kafir sebelum masuk islam. Akan tetapi jika si lelaki kafir itu masuk islam maka dibolehkan bagi wanita muslimah menikah dengannya setelah mendapatkan izin dari walinya.
Namun demikian hendaklah si wanita muslimah betul-betul memastikan kesungguhan dan kejujuran lelaki tersebut untuk masuk islam. Hal itu dikarenakan tidak jarang cara-cara seperti ini digunakan oleh orang-orang kafir untuk meracuni keturuanan-keturunan kaum muslimin dengan aqidah-aqidah sesat mereka dan pada akhirnya—tidak jarang—rumah tangga mereka pecah ditengah jalan dikarenakan si lelaki kembali kepada kekufuran sementara si wanita tetap dalam keislamannya.
Begitu juga dengan seorang lelaki muslim yang hendak menikah dengan seorang wanita yang menyatakan keislamannya karena ingin menikah dengannya maka diharuskan baginya untuk memastikan kejujuran dan kesungguhan wanita tersebut.
Kewajiban lainnya setelah terjadinya pernikahan diantara mereka adalah memberikan bimbingan keislaman kepadanya, mengenalkan kepadanya tentang kebersihan dan kebenaran aqidah islam, ibadah dan akhlak islam secara bertahap untuk memantapkan keislamannya dan menumbuhkan kecintaannya kepada islam.
Adapun tentang bertamu ke rumah orang kafir atau memenuhi undangannya dan memakan hidangannya yang halal maka dibolehkan selama tidak didasari kecintaan, kasih sayang apalagi merendahkan diri terhadapnya.
Didalam Fatwa al Lajnah ad Daimah No. 4214, disebutkan bahwa hubungan diantara manusia ada beberapa macam. Apabila hubungan berupa kasih sayang, kecintaan dan persaudaraan antara seorang muslim dengan kafir maka hal itu diharamkan bahkan bisa menyebabkan kekufuran, Firman Allah swt :
لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءهُمْ أَوْ أَبْنَاءهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ أُوْلَئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ الْإِيمَانَ وَأَيَّدَهُم بِرُوحٍ مِّنْهُ وَيُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ أُوْلَئِكَ حِزْبُ اللَّهِ أَلَا إِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

Artinya : “Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, Sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. meraka Itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. dan dimasukan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka, dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. mereka Itulah golongan Allah. ketahuilah, bahwa Sesungguhnya hizbullah itu adalah golongan yang beruntung.” (QS. AL Mujadalah : 22)
Dan semakna dengan ayat diatas banyak disebutkan didalam ayat-ayat maupun hadits-hadits.
Adapun apabila hubungan itu berupa jual beli, menyambut undangan memakan makanan yang halal atau menerima hadiah yang mubah selama tidak memberikan pengaruh terhadap seorang muslim maka hal itu dibolehkan. Memakan makanan dan minuman yang halal yang disodorkan kepada seorang muslim adalah boleh walaupun dihidangkannya di wadah yang sebelumnya digunakan untuk minum keledai atau makan daging babi atau sejenisnya apabila dicuci terlebih dahulu setelah digunakan untuk makanan atau minuman yang haram atau najis sehingga betul-betul bersih.
Apabila hal demikian dapat membantu untuk bisa mengajakanya kedalam islam maka ia adalah sebaik-baik dakwah dan hubungan serta sebaik-baik pahala dan ganjaran.
Wallahu A’lam

Al-Qur’an Mengeluarkan Manusia Dari Kekufuran dan Kesyirikan

إِنّ الْحَمْدَ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنّ مُحَمّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ اَللهُمّ صَلّ وَسَلّمْ عَلى مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وِأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن.
يَاأَيّهَا الّذَيْنَ آمَنُوْا اتّقُوا اللهَ حَقّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنّ إِلاّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ
يَاأَيّهَا النَاسُ اتّقُوْا رَبّكُمُ الّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيْرًا وَنِسَاءً وَاتّقُوا اللهَ الَذِي تَسَاءَلُوْنَ بِهِ وَاْلأَرْحَام َ إِنّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا
يَاأَيّهَا الّذِيْنَ آمَنُوْا اتّقُوا اللهَ وَقُوْلُوْا قَوْلاً سَدِيْدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْلَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيْمًا،
أَمّا بَعْدُ فَأِنّ أَصْدَقَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ، وَخَيْرَ الْهَدْىِ هَدْىُ مُحَمّدٍ صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّمَ، وَشَرّ اْلأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةً، وَكُلّ ضَلاَلَةِ فِي النّارِ.
Jama’ah Jum’ah rahimakumullah, marilah kita bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah berkenan memberikan berbagai keni’matan bahkan hidayah kepada kita.
Shalawat dan salam semoga Allah tetapkan untuk Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarganya, para sahabatnya, dan para pengikutnya yang setia dengan baik sampai akhir zaman.
Jama’ah Jum’ah rahimakumullah, mari kita senantiasa bertaqwa kepada Allah dengan sebenar-benar taqwa, menjalani perintah-perintah Allah sekuat kemampuan kita, dan menjauhi larangan-laranganNya.
Untuk meningkatkan taqwa, marilah kita merenungkan tentang pentingnya Al-Qur’an dalam kehidupan. Dalam hal ini perlu kita sadari apa sebenarnya fungsi Al-Quran itu dan bagaimana kita memfungsikannya.
Al-Qur’anul Kariem adalah firman Allah Rabbil ‘alamien, yang telah Allah turunkan kepada Rasul-Nya, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan kepada cahaya.
هُوَ الَّذِي يُنَزِّلُ عَلَى عَبْدِهِ ءَايَاتٍ بَيِّنَاتٍ لِيُخْرِجَكُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ وَإِنَّ اللَّهَ بِكُمْ لَرَءُوفٌ رَحِيمٌ(9)
"Dialah yang menurunkan kepada hamba-Nya ayat-ayat yang terang (Al Qur'an) supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya. Dan sesungguhnya Allah benar-benar Maha Penyantun lagi Maha Penyayang terhadapmu." (QS. Al-hadiid [57] : 9)
Imam Ibnu Katsir menjelaskan,
{ لِيُخْرِجَكُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ } أي: من ظلمات الجهل والكفر والآراء المتضادة إلى نور الهدى واليقين والإيمان. تفسير ابن كثير - (ج 8 / ص 11)
"..supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya.." artinya mengeluarkan dari kegelapan-kegelapan jahil (kebodohan), kekafiran, dan pendapat-pendapat yang bertentangan (dengan kebenaran) menuju kepada cahaya petunjuk, keyakinan dan iman.
Sebagaimana Imam Al-Qurthubi memaknakan,
(مِنَ الظُّلُماتِ) وهو الشرك والكفر (إِلَى النُّورِ) وهو الايمان. تفسير القرطبي - (17 / 239)
"mengeluarkan dari dhulumat (مِنَ الظُّلُماتِ) yaitu dari syirik dan kekafiran (إِلَى النُّورِ) kepada iman."
Jama’ah Jum’ah rahimakumullah, Allah menurunkan Al-Qur’an itu untuk mengeluarkan manusia dari kesyirikan, kekafiran, dan pendapat-pendapat yang bertentangan dengan kebenaran, menuju kepada keimanan; namun ketika manusianya tidak mau memegangi dan merujuk kepada Al-Qur’an, maka tidak akan sampai kepada petunjuk dan iman. Walaupun mengaku beriman, namun ketika yang diikuti bukan Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka jelas sesat. Karena Allah Ta’ala telah menegaskan:
فَمَاذَا بَعْدَ الْحَقِّ إِلَّا الضَّلَالُ فَأَنَّى تُصْرَفُونَ [يونس : 32]
“…maka tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan. Maka bagaimanakah kamu dipalingkan (dari kebenaran)?” (QS. Yunus [10] : 32)
Sehingga Al-Qur’an berfungsi mengeluarkan manusia dari kekufuran dan kemusyrikan kepada keimanan itu hanya bagi orang-orang yang mengimaninya, menjadikan Al-Qur’an sebagai rujukan, dan mentaatinya.
Menjadikan Al-Qur’an sebagai rujukan dan mentaatinya itu artinya adalah mentaati Al-Qur’an dan As-Sunnah (yaitu Sunnah Rasul atau Hadits). Karena Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah dua hal pokok dalam Islam yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Tidak boleh yang satu dipakai dan yang lain dibuang. Kedua-duanya wajib dipegangi dan ditaati.
Ketika yang diyakini dan ditaati bukan yang dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka berarti manusia itu sendiri yang tidak mau memfungsikan Al-Qur’an untuk mengeluarkan dirinya dari kekufuran dan kemusyrikan menuju kepada iman.
Upaya untuk meningkatkan iman dengan memegangi Al-Qur’an apakah sudah dilaksanakan secara nyata. Mari kita menimbang diri. Betapa banyaknya orang yang bersemangat untuk mengikuti motivasi ini motivasi itu dengan tiket yang mahal pun mereka jalani beramai-ramai. Bahkan ajaran suatu motivasi tertentu yang sudah dinyatakan sesat oleh ulama pun tetap ramai-ramai mereka ikuti training-training atau latihan-latihannya, demi memotivasi diri agar lebih cerdas katanya.
Demikian pula resep ini dan itu demi kebugaran badan, tampaknya diburu di mana saja. Baik berupa tips-tipsnya maupun praktek olahraganya. Walaupun sampai menyangkut yang haram-haram, berpakaian tidak sesuai syari’at, dan bergaul campur aduk lelaki perempuan tanpa memedulikan aturan Islam. Semua itu mereka kejar, mereka pegangi, dan mereka praktekkan. Sebaliknya, untuk meningkatkan iman dan taqwa dengan membaca Al-Qur’an, mempelajari, mentatabburi, merenungi, mengimani, dan memparktekkannya; tampaknya tidak seperti semangat manusia ketika memburu aneka motivasi bikinan, dengan training-trainingnya, dan tips-tips kebugaran bikinan dengan aneka programnya.
Jama’ah Jum’ah rahimakumullah. Itulah kondisi di hadapan kita, dan itulah yang mungkin menyeret kita. Padahal, perlu kita sadari, semakin jauh menyingkirkan Al-Qur’an dari kehidupan seseorang maka semakin erat dengan kekafiran, kemusyrikan, dan kesesatan. Itulah sejatinya wadyabala syetan. Sebaliknya, semakin erat dengan Al-Qur’an dalam kehidupan seseorang maka ia semakin erat dengan iman. Itulah wali Allah, orang mu’min lagi taqwa. Dan selama seseorang memegangi Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai pedoman hidupnya dengan benar, istiqomah, konsekuen, maka tidak akan tersesat.
Jama’ah Jum’ah rahimakumullah, pentingnya memfungsikan Al-Qur’an sebagai pengeluar dari kemusyrikan, kekafiran, dan kesesatan itu telah ditegaskan pula oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga beliau menjamin bagi yang memeganginya.
...فَأَبْشِرُوا ، فَإِنَّ هَذَا الْقُرْآنَ طَرْفُهُ بِيَدِ اللهِ وَطَرَفُهُ بِأَيْدِيكُمْ ، فَتَمَسَّكُوا بِهِ فَإِنَّكُمْ لَنْ تَهْلِكُوا وَلَنْ تَضِلُّوا بَعْدَهُ أَبَدًا. (صحيح ) انظر حديث رقم : 34 في صحيح الجامع
“…maka berilah kabar gembira, karena sesungguhnya Al-Qur’an ini satu ujungnya di tangan Allah dan satu ujungnya di tangan-tangan kalian, maka berpegang teguhlah dengannya, maka sesungguhnya kalian tidak akan binasa dan takkan sesat setelahnya selama-lamanya.” (Shahih, hadits nomor 34 dalam Shahih al-Jami’).
Jama’ah Jum’ah rahimakumullah, bagaimanapun kita tidak boleh lepas dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Hal itu karena Al-Qur’anul Karim memerintahkan kaum muslimin dengan segala kebaikan dan mencegahnya dari segala keburukan. Petunjuk-petunjuknya pun mencakup segala aspek, hingga tentang penyembahan yang benar dan menjauhi penyembahan yang salah pun diatur, bahkan merupakan aturan utama dan paling prinsipil.
Al-Qur’an mengajari Muslimin bagaimana bermu’amalah dengan Allah Ta’ala, maka Allah Ta’ala berfirman:
{ وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا } (النساء:36).
"Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun." (QS. An-Nisaa’ [4] : 36)
Menyembah hanya kepada Allah, dan cara menyembah hanya cara yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam itulah prinsip utama dalam Islam. Sebaliknya, menyembah kepada selain Allah, serta penyembahan bukan dengan cara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, itu larangan yang paling keras. Sehingga ayat pendek itu sejatinya mencakup hal-hal yang prinsipil yang mesti ditaati oleh Ummat Islam. Karena bila menepati prinsip ini maka benar imannya dan kalau memenuhi persyaratan-persyaratan dalam beramal maka diterima oleh Allah Ta’ala. Sebaliknya, bila menyelisihi yang prinsip itu maka akan sesat, bahkan bisa-bisa sampai keluar dari keimanan, maka batal seluruh amalnya. Itulah yang ditegaskan dalam Al-Qur’an:
وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ(65)
Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu, "Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi." (QS. Az-Zumar [39] : 65)
Jama’ah Jum’at rahimakumullah, di dalam Al-Qur’an pun penuh dengan petunjuk agar manusia ini benar dalam kehidupannya di dunia ini. Pergaulan sesama manusia pun ditunjuki sebaik-baiknya. Di antaranya Allah menunjuki.
وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالًا فَخُورًا [النساء : 36]
Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri. (QS. An-Nisaa’ [4] : 36)
Al-Qur’an mengajari Muslimin bagaimana bergaul dengan keluarganya, maka Allah Ta’ala berfirman:
{ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا } (النساء:36)
"Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa." (QS. An-Nisaa’ [4] : 36)
Dan firman-Nya mengenai hak istri:
{ وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ } (النساء:19)
"Dan bergaullah dengan mereka secara patut." (QS An-Nisaa’ [4] : 19)
Dan Dia berfirman tentang hak anak:
{ وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ مِنْ إِمْلَاقٍ } (الأنعام: 151).
"Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan." (QS. Al-An’am [6] : 151)
Al-Qur’an mengajari Muslimin bagaimana bergaul dengan musuh-musuhnya, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
{ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ } (فصلت: 34).
"Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia." (QS. Fusshilat [41] : 34)
Al-Qur’an mengajari muslimin bagaimana jual beli, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
{ وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا } (البقرة: 275) .
“…padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah [2] : 275)
Jamah’Jum’ah rahimakumullah, setiap manusia pasti memerlukan harta, maka Al-Qur’an mengajari Muslimin bagaimana berinfaq/membelanjakan harta:
{ وَالَّذِينَ إِذَا أَنْفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَامًا } (الفرقان: 67).
"Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian." (QS Al-Furqon [25] : 67)
Bahkan dalam hal makan dan minum yang merupakan kebutuhan jasmani, Al-Qur’an mengajari Muslimin bagaimana makan dan minum, maka Allah Ta’ala berfirman:
{ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا } (الأعراف: 31).
“…makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan.” (QS. Al-A’raf [7] : 31)
Manusia ini juga diatur oleh Al-Qur’an sampai dalam hal berjalan dan bersikap. Al-Qur’an mengajari Muslimin bagaimana berjalan di jalan, dalam Firman-Nya Ta’ala:
{ وَلَا تَمْشِ فِي الْأَرْضِ مَرَحًا إِنَّكَ لَنْ تَخْرِقَ الْأَرْضَ وَلَنْ تَبْلُغَ الْجِبَالَ طُولًا } (الإسراء: 37) .
"Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung." (QS. Al-Isra’ [17] : 37)
Dalam menghadapi manusia lain yang memerlukan ketegasan sikap, Al-Qur’an mengajari Muslimin bagaimana berdialog dan memuaskan, maka Allah Ta’ala berfirman:
{ وَإِنْ كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِمَّا نَزَّلْنَا عَلَى عَبْدِنَا فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِنْ مِثْلِهِ } (البقرة : 23).
"Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Qur'an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al Qur'an itu." (QS. Al-Baqarah [2] : 23)
Sebagaimana Al-Qur’an juga mengajari Muslimin megenai perkara-perkara agamanya, seperti melaksanakan sholat, zakat, pengelolaan zakat, puasa, dan haji yang hal itu diketahui oleh Muslimin baik umum maupun khusus.
Jama’ah Jum’ah rahimakumullah. Perlu kita sadari, petunjuk dari Al-Qur’an itu bukannya lepas begitu saja, lalu manusia ini tidak ada urusan dengannya. Namun justru dengan telah diwahyukannya Al-Qur’an itu, akan berfungsi bagi siapa saja, baik yang mengimaninya maupun yang mengingkarinya. Sehingga Al-Quran berfungsi sebagai pembela dan penuntut. Pembela bagi orang yang mengimaninya, berupaya memahaminya, dan melaksanakannya sekemampuannya. Dan akan jadi penuntut di pengadilan akherat atas orang yang mengingkarinya, mengabaikannya, tidak mentaatinya dan sebagainya.
Dalam Kitab "Fat-hul Qawil Matien fie Syarhil Arba’ien wa Tatimmatil Khomsien" juz 1 halaman 70 (فتح القوي المتين في شرح الأربعين وتتمة الخمسين - (ج 1 / ص 70) )dijelaskan: Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
((وَالْقُرْآنُ حُجَّةٌ لَكَ أَوْ عَلَيْكَ))
"Dan Al-Qur’an itu hujjah/argumen (yang menguntungkan) bagimu atau (yang mencelakakan) atasmu." (HR Muslim), artinya bahwa Al-Qur’an itu bisa jadi hujjah (yang menguntungkan) bagi manusia apabila dia menjalankan apa yang diwajibkan atasnya, dan apa yang dituntut darinya dalam Al-Qur’an. Yaitu meyakini benarnya khabar-khabar (dalam Al-Qur’an), mengikuti perintah-perintahnya, menjauhi larangan-larangannya, dan membacanya dengan sebenar-benarnya pembacaan. Dan bisa pula sebagai hujjah (yang mencelakakan) atas manusia apabila ia berpaling darinya, tidak menjalankan apa yang dituntut Al-Qur’an terhadapnya.
Hadits semisal dengan ini adalah hadits:
{ إنَّ اللَّهَ يَرْفَعُ بِهَذَا الْكِتَابِ أَقْوَامًا وَيَضَعُ بِهِ آخَرِينَ } رَوَاهُ مُسْلِمٌ مِنْ حَدِيثِ عُمَرَ (و أخرجه أحمد ، والدارمى ، وابن ماجه ، وأبو عوانة ، وابن حبان عن عمر)
"Sesungguhnya Allah mengangkat suatu kaum dengan kitab (Al-Qur’an) ini, dan merendahkan kaum yang lainnya dengannya (pula)." (HR Ahmad, Ad-Darimi, Muslim no 817, Ibnu Majah, Abu ‘Awanah, dan Ibnu Hibban dari Umar).
Jama’ah Jum’ah rahimakumullah, dalam hal ini fungsi Al-Qur’an bukan sekadar di dunia saja, namun sampai di akherat kelak. Dan itu adalah sebagai balasan dari bagaimana manusia ini memfungsikan Al-Qur’an itu di dunia. Sehingga orang yang memfungsikan Al-Qur’an sesuai yang ditunjukkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka Al-Qur’an itu di akherat kelak akan menjadi syafaat—pertolongan baginya, hingga menuntunnya ke surga. Sebaliknya, orang yang tidak memfungsikan Al-Qur’an sesuai aturan yang semestinya yang telah ditunjukkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka Al-Qur’an itu akan menyeretnya ke neraka.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
2019 -ا لْقُرْآنُ شَافِعٌ مُشَفَّعٌ مَاحِلٌ مُصَدَّقٌ , فَمَنْ جَعَلَهُ إمَامَهُ قَادَهُ إلَى الْجَنَّةِ , وَمَنْ جَعَلَهُ خَلْفَ ظَهْرِهِ قَادَهُ إلَى النَّارِ
"Al-Qur’an itu mensyafa’ati orang yang disyafa’ati dan mengadzab/memusuhi orang yang membantahnya/menyia-nyiakannya, maka siapa yang menjadikan Al-Qur’an sebagai imamnya maka Al-Qur’an menuntunnya ke surga, dan siapa yang menjadikannya di belakang punggungnya maka Al-Qur’an menggiringnya ke neraka." (HR Ibnu Hibban 1793, At-Thabrani dalam Al-kabir 3/78/2, Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 4/108, Al-Bazzar, dishohihkan oleh Al-Albani dalam As-Silsilah As-Shohihah 5/31, no 2019).
Semoga kita menjadi orang-orang mu’min yang benar-benar memfungsikan Al-Qur’an sesuai dengan petunjuk-petunjuknya, sehingga kelak Allah Ta’ala memasukkan kita ke dalam surga. Amien. Dan semoga dengan peringatan ini kita menyadari kekeliruan dan keteledoran kita yang selama ini mungkin tidak memfungsikan Al-Qur’an secara benar, lalu memperbaiki diri dengan mengikuti petunjuk-petunjuk Al-Qur’an secara konsekuen; sehingga semoga Allah menyelamatkan kita dari tuntutan Al-Qur’an yang mencelakakan kita di akherat kelak. Amien.
بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرّحِيْمِ .
Khutbah Kedua
إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهْ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ.
وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ.
أَمَّا بَعْدُ؛ وَلاَ تَكُونُواْ كَالَّذِينَ قَالُوا سَمِعْنَا وَهُمْ لاَ يَسْمَعُونَ
إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ، وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدّعَوَاتِ. رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلّاً لِّلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَؤُوفٌ رَّحِيمٌ رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنفُسَنَا وَإِن لَّمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ . وَصَلى الله وسَلم عَلَى مُحَمد تسليمًا كَثيْرًا . وَآخِرُ دَعْوَانَا أَنِ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.

Sumpah Dalam Al-Qur’an

Kata al-aqsam jamak dari kata qasam. Berarti sumpah. Ungkapan sumpah dalam bahan Arab berasal dari kata kerja, uqsimu kemudian disertai huruf ba’. Jadi uqsimu billah artinya aku bersumpah atas nama Allah. Seperti firman Allah SWT (yang artinya), “Mereka bersumpah dengan nama Allah dengan sumpahnya yang sungguh-sungguh: ‘Allah tidak akan membangkitkan orang yang mati’.” (QS An-Nahl: 38).
Berhubung sumpah itu banyak digunakan orang, kata kerja sumpah dihilangkan sehingga yang dipakai hanya huruf ba’nya saja. Kemudian huruf ba’ diganti dengan huruf wawu, seperti firman Allah, “Demi malam apabila menutupi (cahaya siang).” (QS Al-Lail: 1). Kadang-kadang digunakan huruf-huruf ta’. Firman Allah, “Demi Allah, sesungguhnya aku akan melakukan tipu daya terhadap berhala-berhalamu.” (QS Al-Anbiya’: 57). Tapi, huruf wawu paling banyak dipakai.

Urgensi Sumpah
Sumpah bagi manusia bertujuan untuk mengikat diri untuk tidak melakukan sesuatu atau melakukan sesuatu. Tapi, sumpah bagi Allah adalah untuk menekankan berita sesudahnya dan menguatkan kandungan ungkapan yang dimaksud. Sebab, menurut Abul Qasim al-Qusyairi bahwa suatu hukum akan menjadi lebih kuat kalau disertai saksi atau sumpah. Sumpah merupakan penekanan yang terkenal untuk memantapkan jiwa dan menguatkannya. Al-Qur’an turun kepada seluruh manusia. Mereka menyikapinya bermacam-macam, di antaranya ada yang ragu, ada yang ingkar, dan ada pula yang menentang habis-habisan. Maka, sumpah dalam Al-Qur’an dalam rangka menghilangkan keraguan dan membatalkan syubuhat (kesamaran), menegakkan hujjah (argumen) dan menguatkan berita, serta menekankan hukuman dengan sebaik-baik gambaran, demikian pendapat Syaikh Manna’ al-Qaththan.

Macam-Macam Sumpah
Sumpah yang dilakukan oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an berkisar antara dua hal. Dia bersumpah dengan Diri-Nya yang menunjukkan kebesaran-Nya. Dalam hal ini terdapat tujuh ayat dalam Al-Qur’an.

1.      Pertama     : “Orang-orang kafir mengatakan, bahwa mereka sekali-kali tidak akan dibangkitkan. Katakanlah: ‘Tidak demikian, demi Tuhanku, benar-benar kamu akan dibangkitkan, kemudian akan diberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.’ Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (QS At-Taghabun: 7).
2.      Kedua       : “Katakanlah: ‘Pasti datang, demi Tuhanku yang mengetahui yang ghaib, sesungguhnya kiamat itu pasti akan datang kepadamu …’.” (QS Saba’: 3).
3.      Ketiga       : “Dan mereka menanyakan kepadamu: ‘Benarkah (azab yang dijanjikan) itu?’ Katakanlah: ‘Ya, demi Tuhanku, sesungguhnya azab itu adalah benar dan kamu sekali-kali tidak bisa luput (daripadanya)’.” (QS Yunus: 53).
4.      Keempat    : “Demi Tuhanmu, sesungguhnya akan Kami bangkitkan merka bersama syaithan, kemudian akan Kami datangkan mereka ke sekeliling Jahannam dengan berlutut.” (Maryam: 68).
5.      Kelima       : “Maka demi Tuhanmu, Kami pasti akan menanyai mereka semua.” (QS Al-Hijr: 92).
6.      Keenam     : “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS An-Nisa’: 65).
7.      Ketujuh     : “Maka Aku bersumpah dengan Tuhan Yang Mengatur tempat terbit dan terbenamnya matahari, bulan dan bintang; sesungguhnya Kami benar-benar Maha Kuasa.” (QS Al-Ma’arij: 40).

Dia bersumpah dengan makhluk-Nya. Pada bagian ini cukup banyak dalam Al-Qur’an, seperti, Demi matahari dan cahayanya di pagi hari (1) dan bulan apabila mengiringinya (2) dan siang apabila menampakkannya (3) dan malam apabila menutupinya (4) dan langit serta pembinaannya (5) dan bumi serta penghamparannya (6) dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya).” (QS Asy-Syams: 1-7), “Demi malam apabila menutupi (cahaya siang) (1), dan siang apabila terang benderang (2), dan penciptaan laki-laki dan perempuan (3).” (QS Al-Lail: 3-1), “Demi fajar (1) dan malam yang sepuluh (2) dan yang genap dan yang ganjil (3) dan malam bila berlalu (4).” (QS Al-Fajr: 1-4).

“Dan apabila binatang-binatang liar dikumpulkan (5), dan apabila lautan dipanaskan (6), dan apabila roh-roh dipertemukan dengan tubuh (7), apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya (8), karena dosa apakah dia dibunuh (9), dan apabila catatan-catatan (amal perbuatan manusia ) dibuka (10), dan apabila langit dilenyapkan (11), dan apabila neraka Jahim dinyalakan (12), dan apabila surga didekatkan (13), maka tiap-tiap jiwa akan mengetahui apa yang dikerjakannya (14), sungguh Aku bersumpah dengan bintang-bintang.” (QS At-Takwir: 5–15), “Demi (buah) Tin dan (buah) Zaitun (1), dan demi bukit Sinai (2).” (QS At-Tin: 1-2).

Dan, sekali Allah bersumpah dengan Nabi Muhammad saw. karena kedudukan dan kemuliaannya di sisi Allah (HR Ibnu Abbas), yaitu dalam surah Al-Hijr ayat 72. Sementara, sumpah bagi hamba Allah tidak boleh, kecuali dengan menyebut nama Allah, seperti sabda Rasulullah saw. “Barang siapa yang bersumpah dengan selain Allah, maka Dia telah melakukan Syirik.” (HR Ahmad).

Dari segi ungkapan, sumpah dalam Al-Qur’an terkadang menggunakan jumlah khabariyah (bersifat berita) dan model ini terbanyak, seperti firman Allah SWT, “Maka demi Tuhan langit dan bumi, sesungguhnya yang dijanjikan itu adalah benar-benar (akan terjadi) ….” (QS Adz-Dzariyat: 23). Terkadang juga menggunakan jumlah thalabiyah (bersifat permintaan), seperti firman Allah SWT, “Maka demi Tuhanmu, Kami pasti akan menanyai mereka semua. Tentang apa yang mereka kerjakan dahulu.” (QS Al-Hijr: 92-93).

Terkadang sumpah itu menggunakan sesuatu yang ghaib seperti contoh di atas. Terkadang pula menggunakan sesuatu yang nyata seperti sumpah matahari, bulan, malam, siang, langit, bumi, dll. Sumpah itu terkadang disampaikan tanpa jawaban karena agar lebih mantap, seperti firman Allah SWT, “Demi langit yang mempunyai gugusan bintang. Dan hari yang dijanjikan, dan yang menyaksikan dan yang disaksikan. Binasa dan terlaknatlah orang-orang yang membuat parit.” (QS Al-Buruj: 1-4).

Dan, yang paling sering adalah sumpah dengan menyebutkan jawabannya, seperti firman Allah SWT, “Demi matahari dan cahayanya di pagi hari …. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikannya ….” (QS Asy-Syams: 1-9). Demikian juga firman Allah, “Demi (buah) Tin dan (buah) Zaitun …. Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” (QS At-Tin:1-4).
Sumpah tidak boleh dibuat main-main karena akan berakibat azab di hari kiamat sebagaimana sabda Nabi saw: “Ada tiga macam orang yang tidak akan dipandang oleh Allah swt pada hari kiamat, tidak akan disucikan oleh-Nya, dan bagi mereka ada azab yang pedih. Pertama, orang tua yang berzina, kedua, orang miskin yang sombong dan ketiga orang yang menjadikan Allah swt sebagai barang dagangannya -ia tidak menjual dan tidak membeli kecuali dengan bersumpah atas nama-Nya. (HR Thabrani) orang tersebut masuk neraka gara-gara menganggap remeh sumpah.

Referensi:

1.      Manna al-Qaththan, Mabahits Fii Ulumil Qur’an (Beirut: Ar-Risalah 1420 H/1999 M), Cet. II
2.      Jalaluddin asy-Suyuthi, Al-Itqon fii Ulumil Qur’an, Tahqiq M. Abul Fadhl Ibrahim (Beirut: Al-Maktabah Al-Ashrah, Th. 1408/1998 M), tanpa Cetakan, Juz 4
3.      Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa (Riyadh; Daar Alamul Kutub, Th.1412 H/1991 M), tanpa Cet, Juz 3

Hakikat Sunnah

Pengertian Sunnah
Sunnah menurut bahasa adalah thoriqoh atau jalan, baik mupun buruk. [1]
Sunnah menurut istilah mempunyai beberapa istilah : [2]
  1. Berkata Ibnu Mandzur : “Di dalam hadis telah berulang-ulang disebutkan kata sunnah dan apa yang berhubungan dengannya, adapun asalnya adalah cara dan jalan. Dan jika diartikan secara syar’i, maka yang di maksud dengan sunnah adalah apa-apa yang di perintahkan, dilarang dan dianjurkan oleh Nabi Muhammad saw dari perkataan dan perbuatan yang tidak disebutkan Al Qur’an, dengan demikian dikatakan bahwa adillah as syariyah adalah kitab dan sunnah yaitu Al Qur’an dan As Sunnah.”
  2. Berkata Imam Syatibi : “Lafadz Sunnah juga diartikan sebagai lawan dari bid’ah, maka dikatakan : si fulan diatas sunnah jika dia sesuai dengan apa yang dikerjakan Nabi saw, dan dikatakan : si fulan diatas kebid’ahan apa bila dia beramal menyelesihi Nabi saw”
Kemudian dia berkata : “Yang dimaksud dengan lafadz sunnah adalah apa yang dikerjakan sahabat, ditemuikan dalam kitab atau pun tidak dikarenakan hal tersebut sebagai bentuk dalam mengikuti sunnah yang ditetapkan kepada mereka yang tidak sampai kepada kita atau pun sebagai bentuk ijtihad bersama terhadapnya dari mereka ataupun dari pemimpin mereka. Berdasarkan sabda Nabi saw :
عليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهتدين…….. (رواه أحمد وأبو داود والترميذي)”
Seiring dengan berkembangnya Ilmu islam, maka makna sunnah pun mempunyai perkembangan diantaranya :
a. Sunnah menurut Ulama’ usul:  apa-apa yang bersumber dari nabi Muhammad saw dari perkataan atau perbuatan atau penetapan (taqrir).[3]
b. Sunnah menurut Fuqoha’ (ahli fiqh): segala sesuatu yang telah ditetapkan dari Nabi Muhammad saw dan bukan dalam perkara fardlu dan bukan pula dalam perkara wajib dan sunnah adalah jalan yang harus diikuti dalam agama dari selain fardlu dan wajib.[4]
c. Sunnah menurut Ahli Hadis: segala sesuatu yang ditinggalkan Nabi Muhammad saw dari perkataan atau perbuatan atau sifat-sifat kholqiyah atau khuluqiyah atau perjalanan hidup beliau meskipun itu sebelum beliau diutus atau sesudahnya.[5]
Dari pengertian-pengertian di atas, dapat di pahami bahwa sunnah adalah ajaran Nabi SAW, atau dengan kata lain, As Sunnah ialah sinonim dari kata Islam. Penggunaan kata As Sunnah dengan pengertian semacam ini selaras dengan hadits berikut :
“Dari sahabat Anas bin Malik rodhiallahu’anhu, ia berkata : ada tiga orang yang menemui istri-istri Nabi shollallahu’alaihiwasallam, mereka bertanya tentang amalan ibadah Nabi shollallahu’alaihiwasallam. Dan tatkala mereka telah diberitahu, seakan-akan mereka menganggapnya sedikit, kemudian mereka balik berkata : Siapakah kita bila dibanding dengan Nabi shollallahu’alaihiwasallam, Allah telah mengampuni dosa-dosa beliau, baik yang telah lampau atau yang akan datang. Salah seorang dari mereka berkata : Kalau saya, maka saya akan sholat malam selama-lamanya. Yang lain berkata : Saya akan berpuasa sepanjang tahun dan tidak akan berbuka (berhenti berpuasa). Yang lain lagi berkata : Saya akan meninggalkan wanita, dan tidak akan menikah selama-lamanya. Kemudian Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam datang, lantas bersabda : Kaliankah yang berkata demikian-demikian? Ketahuilah, sungguh demi Allah, sesungguhnya saya adalah orang yang paling takut kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya diantara kalian, akan tetapi saya berpuasa dan juga berbuka, sholat (malam) dan juga tidur, dan saya juga menikahi wanita. Maka barang siapa yang membenci sunnahku (ajaranku), maka ia tidak termasuk golonganku”.[6]
As Syathiby Al Maliki berkata : “Dan kata As Sunnah juga digunakan sebagai lawan kata dari bid’ah, sehingga dikatakan: Orang itu beramal sesuai dengan As Sunnah, bila ia beramal sesuai dengan yang diamalkan oleh Nabi shollallahu’alaihiwasallam, baik amalan itu disebutkan dalam Al Qur’an atau tidak. Dan juga dikatakan : Orang itu mengamalkan bid’ah, bila ia melakukan sebaliknya”.Ibnu Hazm berkata : Ahlus Sunnah yang akan kami sebutkan ialah Ahlul Haq (penganut kebenaran), sedangkan selain mereka ialah Ahlul Bid’ah, karena mereka (Ahlus Sunnah) ialah para sahabat -radliallahu ‘anhum-, dan setiap orang yang menempuh metode mereka, dari para tabi’in, kemudian [Ashabul Hadits] (penganut hadits), dan setiap orang yang meneladani mereka dari kalangan ahli fiqih pada setiap zaman hingga hari ini, dan juga seluruh orang awam yang mencontoh mereka dibelahan bumi bagian timur dan barat, semoga Allah senantiasa merahmati mereka”.
Penggunaan kata As Sunnah dengan pengertian semacam ini ada semenjak bermunculan dan menebarnya berbagai macam bid’ah, yaitu setelah berlalunya tiga genersi pertama dari umat Islam. [7]
Sunnah menurut Al Qur’an
Dalam Al Qur’an Allah swt tidak menyebutkan kata sunnah Nabi atau sunnah Rasul, akan tetapi Allah menyebutkan dalam Al Qur’an dengan kata hikmah seperti firman Allah :
dan ingatlah nikmat Allah padamu, dan apa yang Telah diturunkan Allah kepadamu yaitu Al Kitab dan Al hikmah (As Sunnah). Allah memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkan-Nya itu.”[8]
“dan Allah Telah menurunkan Kitab dan hikmah kepadamu, dan Telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui”[9]
Imam Syafi’i berkata : “Allah swt menyebutkan Al Kitab yaitu Al Qur’an dan Allah juga menyebutkan Al Hikmah. saya mendengar dari orang yang pandai dalam ilmu Al Qur’an berkata : Al Hikmah adalah sunnah Rasulullah saw dan ini sesuai apa yang difirmankan Allah. Wallah a’lam.[10]
Dan Allah swt memerintahkan untuk mentaati Rasulullah saw. Allah swt berfirman:
“apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah..”[11]
Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia Telah mentaati Allah. dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), Maka kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka” [12]
Demikianlah Allah swt menjelaskan dalam kitab-Nya bahwa antara Al Qur’an dan sunnah Nabi saw adalah dua dalil yang harus saling beriringan, tidak boleh menafikan satu dengan yang lain.
Ibnu Qayyim berkata : Assunnah dengan Al Qur’an itu atas tiga segi :
  1. Hendaknya sunnah sesuai dengan Al Qur’an dari berbagai sisi.
  2. Hendaknya sunnah menjadi penjelas apa yang inginkan Al Qur’an dan sebagai tafsir darinya.
  3. Hendaknya sunnah mewajibkan tentang hukum yang Al Qur’an tidak menyebutkan hukumnya atau mengharamkan apa yang dalam Al Qur’an tidak disebutkan.[13]
Assunnah menurut salaf
Sunnah menurut salaf adalah jalan yang harus di ikuti dalam menjalani hidup ini untuk mendapatkan keberhasilan di Dunia dan di Akhirat.
Sahabat Abu Bakar As Sidiq berkata : “Saya tidak meninggalkan sedikitpun apa yang Rasulullah kerjakan kecuali saya mengikutinya, sesungguhnya saya takut jika saya meninggalkan perintahnya maka saya akan menyimpang dari jalan yang lurus.”[14] Qotadah berkata :”Demi Allah tidak ada seorang pun yang membenci sunnah NabiNYA saw kecuali dia hancur, maka ikutilah sunnah dan tinggalkanlah bid’ah.”[15] Berkata Az Zuhri :”Berpegang teguh dengan Sunnah adalah keberhasilan.[16]
Demikianlah Sunnah yang difahami oleh ulama’-ulama salaf kita, yang mana beliau-beliau ini sudah mendapatkan rekomendasi langsung dari Rasulullah saw melalui hadisnya bahwa generasi mereka adalah generasi yang terbaik.

[1] Al Mu’jamul Wasit,  Maktabah Islamiyah  juz : I  hal : 456
[2] Tadwinu Sunnah Nabawiyah DR. Muhammad bin Mathot Az Zahroni  Maktabah As Shodiq cet : I hal : 12
[3] Al Labab fi usulil fiqih  Sofwan Adnan Dawudi  Darul Qolam cet : I  hal : 199
[4] Syarkhu Sunnah  Abi Muhammad Khusain bin Mas’ud Al Baghiwi  Darul Kutub Ilmiyah cer : II juz : I  hal : 12
[5] Syarkhu Sunnah Abi Muhammad Khusain bin Mas’ud Al Baghiwi Darul Kutub Ilmiyah cet : II  juz : I  hal : 12
[6] HR. Bukhori hadis no : 5063 dan Muslim hadis no : 5
[7] Di nukil dari situs www.muslim.or.id pada hari jumat 20-12-2008 jam, 20.00
[8] Al Baqarah : 231
[9] Annisa’ : 113
[10] Syarkhus Sunnah Abi Muhammad Khusain bin Mas’ud Al Baghiwi   juz : 1 hal :13
[11] Al Hasr : 7
[12] Annisa’ : 80
[13] Tarikh Tasri’ Islami Manna’ Qathan  hal : 76
[14] Di Nukil dari Shohih Bukhori  Muhammad bin Ismail Abu Abdullah Al Bukhari Al Ja’fi  pada bab Fadlul Khumus Darul Fikr juz : III hal : 52 hadis no : 3093
[15] Miftakhul Jannah Abdurrahman bin Abu Bakar As Suyuti hal : 70 Maktabah Syamila
[16] Syarkh I’tiqod Ahli Sunnah  Syeh Abi Qosim bin Hasan bin Manshur At Tabari Allalakai Darul Hadis hal : 43

Ibnu Jarir at-Thabari

  1. A. Nama dan Tempat Lahir
Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir seorang imam, ulama’ dan mujtahid, ulama’ abad ini, kunyahnya Abu Ja’far Ath Thobari. Beliau dari penduduk Aamuly, bagian dari daerah Thobristan, karena itulah sesekali ia disebut sebagai Amuli selain dengan sebutan yang masyhur dengan at-Thabari. Uniknya Imam Thabari dikenal dengan sebutan kuniyah Abu Jakfar, padahal para ahli sejarah telah mencatat bahwa sampai masa akhir hidupnya Imam Thabari tidak pernah menikah.[1] Beliau dilahirkan pada akhir tahun 224 H awal tahun 225.
Para sejarawan yang menulis biografi al-Thabari tidak banyak  menjelaskan kondisi keluarga ulama besar ini. Hanya saja, dari sumber yang sangat terbatas tersebut dapat disimpulkan bahwa keluarga al-Thabari tergolong sederhana, kalau tidak dikatakan miskin, namun ayahnya sangat mementingkan pendidikan putranya tersebut, sebagaimana yang akan dijelaskan nanti.
Jika melihat factor lingkungan ketika masa hidup Imam Thabari, maka di masa tersebut adalah masa dimana tradisi keilmuan Islam mengakar kuatm terbukti dengan munculnya sejumlah ulama besar dari daerah Amul, seperti Ahmad bin Harun al-Amuli, Abu Ishaq bin Basyar al-Amuli, Abdullah bin Hamad al-Amuli dan ulama besar lainnya.[2]
Selain factor lingkungan, factor keluarga juga sangat berperan penting dalam menumbuhkan semangat mencari ilmu pada diri Imam Thabari. Beliau pernah bercerita dihadapan murid-muridnya tentang dukungan ayahnya, Jabir bin Yazid kepadanya dalam menuntut ilmu dan pengalamannya di masa kanak-kanak, Ibnu Jarir berkata: “Aku sudah hafal Al Qur’an ketika aku berumur 7 tahun, dan sholat bersama manusia (jadi imam) ketika berumur 8 tahun, dan mulai menulis hadist ketika berumur 9 tahun, dan ayahku bermimpi, bahwa aku berada di depan Rosululloh dengan membawa tempat yang penuh dengan batu, lalu aku lemparkan didepan Rosululloh. Lalu penta’bir mimpi berkata kepada ayahku: “Sekiranya nanti beranjak dewasa dia akan berguna bagi diennya dan menyuburkan syare’atnya, dari sinilah ayahku bersemangat dalam mendidikku.[3]
Beliau banyak bersafar dan berguru dengan ahli sejarah, beliau juga salah seorang yang memiliki banyak disiplin, cerdas, banyak karangannya dan dan belum ada yang menyamainya.
B. Masa Belajar, Guru-guru dan Murid-muridnya
Beliau banyak bersafar dan berguru dengan ahli sejarah, beliau juga salah seorang yang memiliki ilmu banyak, dan cerdas, banyak karangannya dan belum ada yang menyamainya.
Banyak kota-kota yang ia singgahi sampai ia tidak puas dengan hanya memasukinya sekali, ia masuk ke kota tersebut beberapa kali untuk memuaskan hasrat keilmuannya, di antara kota-kota tersebut adalah Baghdad, di kota ini ia mengambil mazhab Syafi’iyyah dari Hasan Za’farani, kemudian Bashrah, di kota ini ia belajar hadits kepada Abu Abdullah as-Shan’ani, lalu di Kufah, di sana ia belajar ilmu puisi kepada Tsa’lab dan masih banyak lagi kota lainnya seperti Mesir, Beirut dan Damaskus. Pada akhirnya Imam Thabari sempat pulang ke tanah kelahirannya di Thaburstan pada tahun 290 H, tapi tak lama kemudian kembali ke Baghdad dan menjadikannya tempat persinggahan terakhir untuk mencurahkan seluruih aktifitas ilmiyahnya hingga beliau wafat.
Guru beliau 40 orang lebih, diantaranya: “Muhammad bin Abdul Malik in Abi Asy Syawarib, Ismail bin Musa As Suddi, Ishaq bin Abi Isroil, Muhammad bin Abi Ma’sar, Muhammad bin Au fat-Tha’i, Musa bin Sahal ar-Ramali, Muhammad bin Abdullah dan yang lainnya. (didalam tafsir beliau didapatkan, bahwa guru beliau berjumlah 62 guru).
Imam al-Nawawi menambahkan sejumlah nama guru al-Thabari lainnya, terutama mereka yang juga menjadi guru al-Bukhari dan Muslim dalam bidang hadits, seperti Abd al-Malik ibn Abu al-Syawarib, Ahmad ibn Mani` al-Baghawi, al-Walid ibn Syuja`, Abu Kuraib Muhammad ibn al-`Ala’, Ya`qub ibn Ibrahim al-Dauraqi, Abu Sa`id al-Asyaj, `Amr ibn Ali, Muhmmad ibn al-Mutsanna dan Muhammad ibn Yasar.[4]
Karena kedalaman ilmu Imam ath-Thabari, maka wajar saja bila orang-orang ketika itu berlomba untuk menampung samudera ilmu yang terpancar dari beliau. Di antara sekian banyak ulama yang mengambil ilmu dari beliau : Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Nashr, Ahmad bin Qasim bin Ubaidillaah bin Mahdi, Sulaiman bin Ahmad bin Ayub al-Lakhmi, Muhammad bin Ahmad bin Hamdan bin Ali.
Teman-teman dari Ibnu Jarir ath-Thabari, di antaranya : Ahmad bin Abdullah bin Ahmad al-Farghani,ia juga meriwayatkan karangan dari Ibnu Jarir, di antara karangan al-Faraghani adalah Sirah al-Aziz Sulthan al-Mishr dan kitab Sirah Kafur al-Ihsyidi. [5], Ibnu Yazid Abi Bakar al-Qardhi, yang menjadi hakim di daerah Kufah, di antara karangannya adalah kiab Gharib al-Quran, kitab al-Qiraat, kitab at-Taqrib fi Kasyfi al-Gharib, dan kitab al-Mukhtashar fi al-Fiqh.
C. Mobilitas, Aktivitas dan Hasil Karyanya
Al-Thabari dapat dikatakan sebagai ulama multi talenta dan menguasai berbagai disiplin ilmu. Tafsir, qira’at, hadits, ushul al-din, fiqih perbandingan, sejarah, linguistik, sya`ir dan `arudh (kesusateraan) dan debat (jadal) adalah sejumlah disiplin ilmu yang sangat dikuasainya. Namun tidak hanya ilmu-ilmu agama dan alat, al-Thabari pandai ilmu logika (mathiq), berhitung, al-Jabar, bahkan ilmu kedokteran.
Penguasaan al-Thabari terhadap berbagai disiplin ilmu ini menjadi catatan sendiri para ulama sepanjang masa, sehingga tidak heran sederet predikat dan sanjungan disematkan kepadanya. Al-Khathib al-Baghdadi (w.463H) salah satunya. Dalam kitab Tarikh Baghdad, ia menyatakan, “Al-Thabari adalah seorang ulama paling terkemuka yang pernyataannya sangat dipehitungkan dan pendapatnya pantas menjadi rujukan, karena keluasan pengetahuan dan kelebihannya. Ia menguasai berbagai disiplin ilmu yang sulit ditandingi oleh siapa pun di masa itu”.
Pengakuan terhadap keilmuan al-Thabari tidak hanya datang dari para ulama lintas generasi sesudahnya yang mengkaji dan meneliti karya-karya  besarnya, seperti Ibn al-Atsir (w.630H), al-Nawawi (w.676H), Ibn Taimiyah (w.728H), al-Dzahabi (w.748H), Ibn Katsir (w.774H), Ibn Hajar al-`Asqalani (w.852H), al-Suyuthi (w.911H) dan lain-lain. Tapi para ulama yang hidup satu generasinya juga tidak kurang menyatakan kekaguman dan pujiannya, di antara pujian mereka terhadap Imam thabari adalah sebagai berikut :
Abu Sa’id berkata: “Muhammaad bin Jarir berasal dari daerah Aamal, menulis di negri mesir. Lalu pulang ke Bagdad, dan telah mengarang beberapa kitab yang monumental, dan itu menunjukkan luasnya ilmu beliau. »
Al Khotib berkata: “Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin Gholib: “Beliau adalah salah satu Aimmah Ulama’ (sesepuh ulama’), perkataannya bijaksana dan selalu dimintai pendapatnya karena pengetahuannya dan kemulyaannya. Beliau telah mengumpulkan ilmu-ilmu yang tidak penah ada seorangpun yang melakukannya semasa hidupnya. Beliau adalah seorang Hafidz, pandai ilmu Qiro’at, ilmu Ma’ani faqih tehadap hukum-hukum Al Qur’an, tahu sunnah dan ilmu cabang-cabangnya, serta tahu mana yang shohih dan yang cacat, nasikh dan mansukhnya, Aqwalus Shohabah dan Tabi’in, tahu sejarah hidup Manusia dan keadaanya. Beliau memiliki kitab yang masyhur tentang “sejarah umat dan beografinya” dan kitab tentang “tafsir” yang belum pernah ada mengarang semisalnya dan kitab yang bernama “Tahdzibul Atsar” yang belum pernah aku (Imam Adz Dzahabi) lihat semacamnya, namun belum sempurna. Beliau juga punya kitab-kitab banyak yang membahas tentang “Ilmu Ushul Fiqih” dan pilihan dari aqwal para Fuqoha’.[6]
Imam Adz Dzahabi berkata: “Beliau adalah orang Tsiqoh, jujur, khafidz, sesepuh dalam ilmu tafsir, imam (ikutan) dalam ilmu fiqh, ijma’ serta (hal-hal) yang diperselisihkan, alim tentang sejarah dan harian Manusia, tahu tentang ilmu Qiro’at dan bahasa, serta yang lainnya.
Al Khotib berkata: “Aku mendengar Ali bin Ubaidillah bercerita: “Sesungguhnya Muhammad bin Jarir dirumah selama 40 tahun, setiap harinya beliau menulis 40 lembar.[7]
Al Qodhi Abu Abdillah Al Qudho’i: “Ali bin Nashir bin Ash Shobah telah menceritakan kepada kami, Abu Umar Uabidillah bin Ahmad As Simsar, dan Abul Qosim Al Waroq: “Bahwa ibnu Jarir At thobari berkata kepada sahabat-sahabatnya: “Bagaimana pendapat kalian, bila aku akan menulis tentang sejarah alam dari sejak Adam sampai sekarang ini? Mereka bertanya: “Berapa banyakkah itu? Maka beliau menjawab, kira-kira 30 ribu lembar, lalu mereka berkata: ” kalau begitu umurmu akan memutus pekerjaanmu sebelum engkau bisa menyempurnakannya? Lalu beliau sadar, dengan berkata: “Innaalillah! Lalu beliau mengurungkan niatnya. Kemudian beliau ringkas karangan itu sebanyak 3000 lembar, dan ketika beliau ingin membuat tafsir, berkata kepada mereka seperti itu.[8]
Beliau adalah seorang laki-laki yang mempunyai ilmu yang sangat luas, maka tidak heran jika karangan beliau tak bisa dihitung hanya dengan waktu 1000 detik. Namun sangat disayangkan, mayoritas kitab beliau hilang dan tidak sampai kepada kepada kaum muslimin kecuali hanya sedikit. Dan hasil karya Imam Thabari antara lain:
  1. 1. Kitab Adabul Qodho’ ( Al Hukkam)
  2. Kitab Adabul Manasik
  3. 3. Kitab Adab an-Nufuus
  4. Kitab Syarai’al-Islam
  5. Kitab Ikhtilaful Ulama’ atau Ikhtilaful Fuqoha’ atau Ikhtilafu Ulama’il Amshor fie Akhkami Syaroi’il Islam.
  6. Kitab Al Basith, tentang kitab ini beliau Imam Adz Dzahabi berkata: “Pembahasan pertama adalah tentang thoharoh, dan semua kitab itu berjumlah 1500 lembar.
  7. 7. Kitab Tarikhul Umam wal Muluk (Tarikhul Rusul wal Muluk)
  8. Kitab Tarikhul Rijal minas Shahabah wat Tabi’in.
  9. Kitab at-Tabshir.
10. Kitab Tahdzib Atsar wa Tafsiilust Tsabit ‘Ani Rasulullah Saw Minal Akhbar. Az-Zahabi ketika mengomentari kitab ini mengatakan bahwa kitab ini termasuk salah satu kitab istimewanya Ibnu jarir, dimulai dengan sanad yang shadiq, lalu bebicara pada Ilal, thuruq dan fiqih hadits, ikhtiklaf ulama serta hujjah mereka, dalam kitab ini juga disebutkan makna-makna asing serta bantahan kepada Mulhiddin, kitab ini menjadi lebih sempurna lagi dengan adanya sanad al-Asyrah, Ahlu al-Bait, al-Mawali dan beberapa sanad dari Ibnu Abbas, dan kitab ini belum selesai pada akhir kematiaannya, lalu ia mengatakan: jika saja kitab ini dkteruskan, niscaya bisa sampai beratus-ratus jilid. [9]
11.  Kitab Al Jaami’ fiel Qira’at
12.  Kitab Haditsul Yaman
13.  Kitab Ar Rad ‘Ala Ibni ‘Abdil Hakim
14.  Kitab az- Zakat
15.  Kitab Al ‘Aqidah
16.  Kitabul fadhail
17.  Kitab Fadhail Ali Ibni Thalib
18.  Kitab Mukhtashar Al Faraidz
19.  Kitab Al Washaya,
Dan masih banyak lagi kitab-kitab beliau yang tidak kami sebutkan disini.[10]
Selain banyaknya bidang keilmuan yang disentuh, bobot karya-karya  al-Thabari sangat dikagumi para ulama dan peneliti. Al-Hasan ibn Ali al-Ahwazi, ulama qira’at, menyatakan, “Abu Ja`far [al-Thabari] adalah seorang ulama fiqih, hadits, tafsir, nahwu, bahasa dan `arudh. Dalam semua bidang tersebut dia melahirkan karya bernilai tinggi yang mengungguli karya para pengarang lain”.[11]
D. Akhlaq dan Perilaku Imam Thabari
Imam Thabari bukan berasal dari keluarga yang mapan atau kaya, hal ini bisa dibuktikan dengan bekal dari orang tuanya yang ketika dicuri ia tidak dapat menggantinya lagi. Begitujuga kisah kelaparan yang dia alami selama di Mesir dan kiriman orang tuanya yang dikirim terlambat, sehingga ia terpaksa menjual pakaiannya.[12] Al-Farghani menyebutkan perkataan Imam at-Thabari berkata; suatu ketika kiriman dari orang tuaku telat, hingga aku terpaksa merobek kedua lengan bajuku untuk kemudian aku jual. Selanjutnya Imam Thabari menuliskan keadaannya tersebut dalam sebuah puisi:
”Ketika aku kesusahan kawanku tak mengerti
Aku berusaha merasa kaya, hingga kawanku menganggap aku kaya
Rasa maluku menjaga air mukaku, kelembutanku membuat kawanku mencariku
Jika saja aku sia-siakan air mukaku, niscaya jalan kepada kepopuleran akan mudah
Dua sifat yang tidak rela aku melewatinya
Sombongnya sifat kaya dan hinanya kemelaratan
Ketika kau kaya janganlah kau sombong lagi ceroboh
Jika kau melarat maka sombongilah waktu”
Hal ini cukup menguatkan kesimpulan bahwa kehidupan Imam Thabari  cukup memprihatinkan.
Keterbatasan ekonomi tersebut tidak lantas melunturkan semangat Imam  Thabari dalam menuntut ilmu, di awal keberadaannya di Baghdad, at-Thabari berusaha mengatasai persoalan ini dengan mengajar anak menteri Abu Hasan bin Khaqan, itupun dengan kesep[akatan tidak menganggu waktu belajar Imam Thabari, dari pekerjaan barunya, Imam Thabari menerima upah 10 dinar setiap bulan dan mendapat pinjaman 10 dinar untuk modal pertama.[13]
Gaya hidup sederhana dan bersahaja ini terus ia tanam hingga akhir hayatnya, Menteri al-Khaqani pernah pernah menawarkan jabatan Hakim Daulah Abbassiyah kepadanya, tapi ia tolak. Tidak hanya itu, at-Thabari juga menolak hadiah 1000 dinar dari menteri Al-Abbas bin Hasan atas buku yang ia buat, al-Khafif.
Kedudukan yang begitu terhormat ini tidak lantas merubah gaya hidupnya, malahan ia tetap berusaha hidup sederhana dengan mengandalkan uang dari hasil panen yang ditinggalkan ayahnya di Thaburstan, padahal jika mau, ia bisa hidup dalam gelimang kemewahan, ia menggubah jalan hidupnya ini dalam sebuah puisi yang menarik untuk kita simak.
Ketika aku kesulitan uang
Tidak satupun sahabatku yang tahu
Tapi ketika aku punya uang
Sahabatku ikut merasakan kesenanganku
Rasa malu menjaga air mukaku
Rasa enggan meminta adalah sifatku
Andai saja aku tepis rasa malu
Jalan menjadi kaya terlalu mudah bagiku.
E. Penghargaan Ulama Terhadap Hasil Karya al-Imam at-Thabari
Banyak didapati pengakuan terhadap Imam Thabari dalam usahanya mengembangkan Tafsir, seperti berikut ini:
Imam An Nawawi dalam Tahdzibnya mengemukakan: “Kitab Ibnu Jarir dalam bidang tafsir adalah sebuah kitab yang belum seorangpun ada yang pernah menyusun  kitab yang menyamainya.[14] Beliau juga pernah mengatakan: “”Umat telah bersepakat tidak ada yang menyamai tafsir beliau ini.” [15]
Imam as-Suyuthi, seorang mufasir menyatakan seperti berikut: “Kitab ibnu Jarir adalah kitab tafsir paling agung (yang sampai kepada kita). Didalamnya beliau mengemukakan berbagai macam pendapat dan mempertimbangkan mana yang lebih kuat, serta membahas I’rob dan istimbat. Karena itulah ia melebihi tafsir-tafsir karya para pendahulu.” [16]
Syaikh Islam Ibnu Taimiyah telah memuji Imam Thabari, antara lain mengatakan: “Adapun tafsir-tafsir yang ditangan manusia, yang paling dahulu adalah tafsir Ibnu Jarir Ath thobari, bahwa beliau (Ibnu jarir) menyebutkan perkataan salaf dengan sanad-sanad yang tetap, dan tidak ada bid’ah sama sekali, dan tidak menukil dari orang yang Muttahim, seperti Muqotil bin Bakir[17] dan Al Kalbi.” [18]
As-Suyuthi telah meneliti thabaqah mufasir sejak awal kemunculan ilmu ini, dan ketika sampai pada Abu Jafar, ia menempatkannya pada thabaqah (tingkatan) yang pertama, kemudian ia berkata: “jika engkau bertanya: Tafsir apa yang engkau sarankan dan dijadikan sebagai bahan rujukan? Maka aku katakan: Tafsir Ibnu Jarir, yang para ulama telah bersepakat bahwa belum ada kitab tafsir yang semisalnya.” [19]
Abu Muhamamad Abdullah bin Ahmad bin Jafar al-Farghani mengatakan bahwa ia pernah bermimpi  mengikuti Majlis ilmu Abu Jafar dan manusia kala itu sedang membaca kitab Tafsir Ibnu jarir, lantas aku mendengar suara dari antara langit dan bumi yang mengatakan: Barangsiapa ingin mendengarkan al-Quran sebagaimana ia turun, maka dengarkanlah kitab ini. [20]
F. Mazhab dan Aqidah Imam ath-Thabari
Al Faroghi berkata: “Harun bin Abdul Aziz bercerita kepadaku:” Abu Ja’far At Thobari berkata: “aku memilih Madzhab imam Syafi’I, dan aku ikuti beliau di Bagdad selama 10 tahun
As Suyuthi berkata dalam kitab “Thobaqotul Mufassirin” hal: 3: “Pertama, beliau bermadzhab Syafi’I, lalu membuat madzhab sendiri, dengan perkataan-perkataan dan petikan-petikan sendiri, dan beliau mempunyai pengikut yang  mengikutinya. Dan aqidahnya adalah Aqidah Salaf as-Shalih
Imam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawanya mengatakan bahwa Imam Thabari adalah imam Ahlu Sunnah, hal ini beliau katakana ketika membahas mengenai al-Quran kalamullah.
Imam Ibnu Qayyim mengatakan, yang maknanya adalah bahwa Imam Thabari adalah Ahlu Sunnah. Hal ini dapat diketahui dari tulisan beliau Sharih as-Sunnah. Dan masih banyak lagi pernyataan para ulama mengenai aqidah beliau.

[1] Amul adalah kota paling besar di Thobastan.
[2] Yaqut al-Himawi: 1:30
[3] Tafsir Ibnu Jarir At Thobari, juz: 1, hal: 12, dalam muqodimah tahqiqnya oleh DR. Abdulloh bin Abdur Rohman at Turki.
[4] Nawawi, Tahzib asma’ wa lughat, 1: 97
[5] Yaqut al-Himawi, Mujam al-Adibba, (Maktabah Syamilah), juz I hal. 113
[6] Imam az-Zahabi, Siyar A’lamin Nubala’, juz 11 hal: 292.
[7] Imam az-Zahabi, Siyar A’amin Nubala’, Juz 11, hal : 294
[8] Imam az-Zahabi, Siyar A’amin Nubala’, Juz 11, hal : 296
[9] Ibnu Jarir, Jami al-Bayan an aya al-Quran, Tafsir al-Bayan an aya al-Quran li Ibn Jarir ath-Thabari, (Kairo, Dar as-Salam, 2007) cet II, hal. 13
[10] Tafsir Ibnu Jarir At Thobari, juz: 1, hal: 46, dalam muqodimah tahqiqnya oleh DR. Abdullah bin Abdur      Rohman at Turki.
[11] Muqaddimah Tarikh ath-Thabari: 1: 5-6.
[12] Tazkiratul Huffadz, az-Zahabi: 2: 713.
[13] Siyar ‘Alam an-Nubala’, Az-Zahabi.
[14] Manna’ al-Qatthan, Mabahist fie Ulumil Al qur’an, (Maktabah al-Hidayah, Surabaya) hal: 386.
[15] Az-Zarkasyi, al-Itqan, juz.2 hal. 190
[16] Az-Zarkasyi Al Itqon, Juz 2, hal: 190.
[17] Ini adalah teks asli, semoga yang beliau maksud adalah Ibnu Sulaiman, yaitu beliau Muqotil bin Sulaiman bin Basyir, sedangkan dia adalah orang yang dicurigai dengan pembohong.
[18] Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa, Juz, 2 hal: 192. Dan Husain az-Zahabi, Tafsir wal Mufassirun, Juz: 1, hal. 208.
[19] Muqaadimah at-Tahqiq kitab Tafsir al-Bayan an aya al-Quran li Ibn Jarir ath-Thabari, (Kairo, Dar as-Salam, 2007) cet II, hal. jim
[20] Yaqut al-Himawi, Mujam al-Adibba, (Maktabah Syamilah), juz II hal. 364